Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

# Pendidikan

FALSE
FALSE
latest

Tentang Tuhan: Sebuah Kajian Filsafat Ketuhanan

Berpikir tentang Tuhan, memikirkan Tuhan, dan Tuhan itu sendiri, adalah tiga hal yang sangat berbeda. Ketiga hal ini selalu menjadi multispe...

Berpikir tentang Tuhan, memikirkan Tuhan, dan Tuhan itu sendiri, adalah tiga hal yang sangat berbeda. Ketiga hal ini selalu menjadi multispekulatif, tetapi juga multiperspektif, tatkala entitas Tuhan mulai diperbincangkan

Ketika seorang 'berpikir tentang Tuhan', maka orang tersebut sedang menggunakan akal budinya untuk mempertimbangkan 'objek Tuhan' dalam pikirannya. Sementara 'memikirkan Tuhan', lebih kepada upaya untuk menyimpulkan 'objek Tuhan' yang dipertimbangkan melalui akal budi tadi. Sedangkan "Tuhan" sendiri merupakan suatu (objek) yang dimasukkan untuk kepentingan dalam "berpikir" serta dalam "memikirkan" tadi. Karenanya maka dapat dipahami bahwa “Tuhan yang dipikirkan manusia dengan cara memikirkannya, tidak akan sama dengan Tuhan itu sendiri” (Busthan Abdy, 2017:19).

Dalam karya filsafat yang sangat populer berjudul “Elements of Philosophy“ (2004), Profesor Louis Kattsoff menulis,.. “ketika Perang Dunia ke-II berkecamuk, ada suatu ungkapan populer yang berbunyi bahwa, di dalam lubang-lubang perlindungan, tidak ada penganut untuk kaum ateisme”. Makna yang dikandung dari ungkapan ini kiranya menyebutkan bahwa apabila seseorang terjebak dalam situasi yang membahayakan jiwanya, tentu ia akan mengakui adanya Tuhan. Dalam keadaan seperti inilah maka orang-orang mulai merasakan betapa pentingnya Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, orang itu harus mengakui adanya Tuhan.

Pada titik ini, seperti apa yang sudah diungkapkan Kattsoff di atas, maka Tuhan tidak dimaknai sebagaimana adanya, tetapi Dia hanya merupakan suatu entitas yang dipercayai sebatas “pemenuhan kebutuhan” seseorang saja. Dimana ketika seseorang membutuhkan perlindungan dari bahaya yang mengancam jiwanya, maka disitulah Tuhan dihadirkan. Jika tidak, Tuhan itu tidak dihadirkan.

Apa yang diungkapkan Kattsoff diatas kedengarannya memang sangatlah sederhana. Namun sesungguhnya hal ini dapatlah digunakan sebagai petunjuk penting, bahwa dewasa ini masalah-masalah keagamaan kian lama, kian menarik perhatian. Kebanyakan orang di didik untuk mempercayai pertanyaan-pertanyaan keagamaan tertentu yang bersifat hakiki. Apabila ada orang lain yang bertanya, “Percayakah anda kepada Tuhan?”, maka kemungkinan besar orang akan menjawab “iya, saya percaya”. Namun apabila selanjutnya ditanyakan lagi, “Mengapa anda bisa mempercayai Tuhan?”, maka tentunya akan lebih sukar memberikan jawaban pasti, sebab pertanyaan ini sesungguhnya menuntut bahan-bahan bukti.

Benar, apa yang pernah diungkapkan oleh Max Weber (2012:141) bahwa kekuatan adikodrati yang dipahami melalui penganalogian dengan para penguasa sekuler yang dapat dipaksa melayani kemauan masyarakat, membuat manusia menyimpulkan bahwa kekuatan naturalistik Ruh dapat melayani keinginannya (manusia). Siapapun yang memiliki kharisma sesuai syarat yang dibutuhkan dan sudah menggunakan cara-cara yang benar, maka ia dapat lebih kuat ketimbang Tuhan yang didesaknya untuk bisa memenuhi permintaannya. Dan dalam kasus-kasus seperti ini, perilaku keagamaan justru bukan menyembah Tuhan, melainkan cenderung untuk memaksa Tuhan, dan permintaan bukan lagi berperan sebagai sebuah doa, namun melatih rumusan magis agar bertambah efektif.

Mendefinisikan Tuhan
Adapun tentang Tuhan sendiri, tentulah tidak mudah kita merumuskannya. Siapakah Dia sesungguhnya? Adalah pertanyaan dasar yang terus-menerus diajukan umat manusia. Adakah Ia seorang Pribadi yang bisa bercakap-cakap dengan manusia, ataukah Ia seorang yang jauh di atas sana, yang singgasana-Nya terdiri dari cahaya yang gilang-gemilang sehingga sulit dijangkau manusia? Ataukah Tuhan hanyalah sekadar prinsip yang memang mesti ada agar makhluk yang bernama manusia itu dijamin keberadaannya dan tidak sesat jalan, dan kalau sesat akan diberi hukuman?

Imanuel Kant misalnya, berbicara tentang postulat di sini. Kita memang tidak bisa mengatakan Tuhan ada atau tidak ada, kata Kant, sebab untuk mengatakan ini, Ia harus tunduk kepada struktur-struktur berpikir yang dikondisikan oleh ruang dan waktu. Dalam kaitan ini, saya teringat sebuah buku yang ditulis oleh Pendeta Hendrikse di Negeri Belanda, Ik Geloof in God die Niet Bestaat (2012)[Aku percaya kepada Allah yang tidak ada]. Judulnya menarik bukan? Dan sekaligus juga kontroversial, sebab yang menulisnya adalah seorang pendeta yang masih aktif. Tetapi itulah salah satu cara diantara cara-cara lainnya yang dipunyai manusia untuk “merumuskan” siapa Tuhan itu.

Karen Armstrong, seorang perempuan pemikir dan mantan biarawati tetapi kemudian menjadi Guru Besar Ilmu Teologi Agama, menulis buku berjudul, Sejarah Tuhan [aslinya: The History of God]. Buku menarik. Tetapi pertanyaan segera muncul, apakah Tuhan mempunyai sejarah? Kalau Tuhan mempunyai sejarah, maka kita terlampau memberi bobot yang sangat berat kepada ilmu sejarah, sebab “mampu” menempatkan Tuhan di bawah kategori-kategori ilmu sejarah. Ternyata buku itu memang tidak berbicara tentang sejarah Tuhan, tetapi tentang sejarah agama-agama, atau mungkin lebih baik, sejarah persepsi tentang Tuhan di sepanjang peradaban manusia.

Paul Tillich, teolog dan filsuf Amerika keturunan Jerman pernah berada dalam ketegangan yang tidak terselesaikan antara yang disebut pemikiran “khairotik” (dari kata Kairos) dan “kesekarangan yang kekal” (eternal now). Menurut A.S.L Woudenberg, dalam bukunya Kairos en het Eeuwige Nu (1993), yaitu suatu penelitian tentang relasi antara kemasakinian dengan kemasadepanan dalam teologi Paul Tillich tentang sejarah, memang ada kesadaran sejarah padanya yang dasarnya terletak pada “The Unconditioned”. Tetapi kesadaran tentang sejarah itu ketika dikaitkan dengan kesekarangan kekal yang juga merupakan pandangan Tillich ini, lalu tidak terselesaikan.

Saya kira kita biarkan saja persoalan ini terbuka. Saya kembali kepada soal sejarah Allah. Saya kira sangat jelas Allah melampaui sejarah. Ia tidak mungkin ditundukkan ke bawah hukum-hukum dan kategori-kategori sejarah. Namun demikian, Dia secara sukarela masuk kedalam sejarah bersama manusia. 
Sebagaimana ditegaskan Injil Yohanes 1:14 bahwa: “Firman itu telah menjadi daging dan berkemah di antara kita”. Ya, itulah rahasia Inkarnasi yang tidak terselami, namun merupakan anugerah yang tidak ternilai bagi manusia berdosa ini.

Salam..Wassalam, Hormat di bri


Referensi Buku:
Busthan Abdy. (2017). Kristus Versus Tuhan-Tuhan Postmo. Kupang: Desna Life Ministry

Tidak ada komentar