Video

Video News

Iklan

Rasisme dalam Kajian Psikoanalisis Freud, Sebuah Telaah

SUARA NABIRE
Minggu, 31 Januari 2021, Januari 31, 2021 WIB Last Updated 2022-03-05T12:14:40Z
SUARA.NABIRESecara sederhana, rasisme bisa diibaratkan sebagai iblis masa lalu yang terus menghantui siapa saja hingga masa kini. Ya, perbuatan rasis adalah patologi kemanusiaan yang kapan saja siap menghancurkan kehidupan bersama dalam setiap peradaban. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, rasisme memang selalu hadir disitu.

Jika kita melihat sejarah, konon rasisme adalah paham sesat yang berkembang bersama kolonialisme Eropa yang ketika itu digunakan sebagai dalil untuk memperluas wilayah jajahannya terhadap suku bangsa di Asia, Afrika, Amerika dan Australia.

Itu sebabnya dalam peradaban, istilah “rasisme” ini muncul untuk mendefinisikan suatu pikiran atau tindakan yang memisahkan manusia berdasarkan rasnya. Satu ras dianggap lebih unggul dari ras-ras lainnya. Ini lalu menjadi alasan bagi penjajahan dan perbudakan dari ras yang (merasa) lebih kuat kepada ras yang lebih lemah

Sejak dulu, kita bisa melihat bahwa akibat perbedaan ras, maka ketidakadilan, kekerasan bahkan pembunuhan kerap terjadi. Ironisnya lagi, ilmu pengetahuan dan agama juga kerap memberikan ruang bahkan meletakkan dasar untuk rasisme semakin subur berkembang dialam ini.

Sejumlah penelitian ilmiah misalnya, bisa dipelintir untuk kepentingan penguasa yang rasis. Ajaran agama bahkan diperkosa untuk membenarkan penjajahan, perbudakan dan pembunuhan massal. Akhirnya, rasisme tidak lagi menjadi perkecualian, tetapi menjadi yang tak terpisahkan dari banyak budaya di dunia ini.

Kita bisa melihat bahwa bertahun lamanya sang Adolf Hitler melakukan pembantaian besar-besaran terhadap ras-ras non Aria (Jerman), khususnya orang Yahudi, bahkan kelompok orang-orang cacat maupun terbelakang di Jerman pada saat itu.

Bahkan jauh ke belakang, seperti dikisahkan dalam Kitab Exodus (baca: Kitab Keluaran), dimana akibat perbedaan ras, bangsa Israel mengalami perbudakan yang sangat dasyat nan keji selama lebih dari 400 tahun di tanah Mesir.

Menariknya lagi, saat ini rasisme justru muncul dari kalangan akademisi dan cendekiawan yang sejatinya memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni dibandingkan rakyat biasa yang terbatas dalam bangku pendidikan. 
Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, rasime sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para politikus mulai dari pusat sampai desa-desa di medan merdeka ini untuk menyingkirkan siapa saja yang berbeda pandangan politik dengannya.

Nah, singkat cerita, apa alasan yang dapat memicu seseorang melakukan tindakan rasisme terlepas dari apapun pendidikan atau iman yang disandangnya? Pendekatan yang akan saya gunakan untuk menjelaskan hal ini adalah pendekatan psikologi, terutama psiko analisis yang berbasis pada Freudian Theory yang digagas Sigmund Freud.

Pokok Pikiran Psikoanalisis Sigmud Freud
Tokoh yang berjasa dalam meletakan landasan psikoanalis adalah Sigmund Freud. Psikoanalisis Freud lebih ditekankan pada soal pentingnya perkembangan masa kanak-kanak seseorang. Menurut Freud, masa kanak-kanak sangat memegang peran menentukan dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku individu manusia ketika dewasa kelak. Dengan kata lain, perkembangan pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan kepribadian seseorang kelak menjadi dewasa.

Bagi Freud, kepribadian manusia dibangun atas tiga pilar utama yaitu ID, EGO dan SUPER EGO. Perkembangan ketiga pilar kepribadian manusia ini berlangsung dalam lima fase yaitu: FASE ORAL (usia 0-1 tahun), FASE ANAL (usiA 15 bulan sampai 2 tahun), FASE PHALIC (usia 3-6 tahun), FASE LATEN (usia 6-12 tahun) dan FASE GENITAL (usia 12 tahun).

Fase Oral, pada fase ini manusia menggunakan mulutnya untuk merasakan kenikmatan. Seorang bayi pada tahapan ini selalu memasukkan ke mulutnya setiap benda yang dipegangnya untuk merasakan kenikmatan.

Fase Anal, dalam fase ini seorang anak akan memperoleh kenikmatan ketika ia mengeluarkan sesuatu dari anusnya. Anak menyukai melihat tumpukan kotorannya. Pada tahapan ini anak dapat berlama-lama dalam toilet. Pada tahapan ini, orang tua dapat memainkan perannya melalui apa yang disebut "toilet training". Orang tua dapat melakukan fungsi kontrol agar anak dapat menahan hasratnya untuk berlama-lama memperoleh kenikmatan di toilet.

Fase Phalic adalah fase ketiga. Anak pada fase ini, cenderung memperoleh kenikmatan dengan mempermainkan kelaminnya.

Fase Laten, anak pada fase ini mulai melupakan tahapan memperoleh kenikmatan karena sudah memasuki usia sekolah. Anak mempunyai teman dan permainan baru.

Fase Genital. Pada tahapan inilah perkembangan menuju kedewasaan mencapai puncaknya. Tahap-tahap perkembangan kepribadian tidak dengan sendirinya berjalan mulus untuk setiap anak. Bisa saja terjadi, seorang anak akan terhambat dalam perkembangan kepribadiannya. Usia bertambah tapi kepribadiannya masih dalam tahap perkembangan dini. Freud menyebutnya dengan Fiksasi. Penyebabnya beragam, bisa karena orang tua, lingkungan sosial, atau konflik mental.

Lalu apa relevansinya dengan perilaku rasis?

Gambaran Freud di atas menunjukan bahwa pada dasarnya manusia adalah makluk yang selalu gandrung dan suka mencari kenikmatan, sekaligus suka menghindari penderitaan. Akibatnya, cara apapun akan ditempuhnya untuk bisa menyingkirkan siapa saja yang dianggap menghalanginya dalam mendapatkan kenikmatan sekaligus menghindari penderitaan hidupnya.

Rasisme adalah godaan kenikmatan terbesar selain perselingkuhan dan korupsi. Ini dapat dimengerti sebab semua tahapan perkembangan kepribadian dalam psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa manusia selalu bermain-main dengan kenikmatan meski itu kotor sekalipun.

Perkembangan kepribadian yang gagal pada waktu masa kanak-kanak, akan menyebabkan orang menganggap dirinya lebih hebat dari sesamanya, bahkan akan cenderung menolak perbedaan.Akibatnya ia akan mudah menghina bahkan merendahkan orang lain. Ada korelasi antara tahapan perkembangan kepribadian anak dengan kondisi setelah dewasa. Bila pada tahap-tahap itu terjadi fiksasi atau hambatan perkembangan kepribadian, maka kepribadian itulah yang dibawanya sampai ia besar nanti.

Sifat serakah, adalah sifat dari orang yang memang terhambat dalam perkembangan kepribadiannya. Terutama ketika seorang anak terhambat dalam tahap kepribadian anal. Seorang anak yang mengalami hambatan kepribadian pada fase anal, ketika besar akan mempertahankan kepribadian anal. Karakter orang ini ditandai dengan kerakusan untuk memiliki. Ia merasakan kenikmatan dalam pemilikan pada hal-hal yang material.

Fase anal ditandai oleh kesenangan anak melihat kotoran yang keluar dari anusnya. Kini, kotoran telah diganti benda lain. Benda itu dapat berupa uang, mobil, rumah, saham, berlian, emas, intan, dan benda kenikmatan lainnya yang akan membuat seseorang menjadi angkuh, sombong dan tergoda untuk terus memilikinya sekalipun ditempuh dengan cara-cara keji seperti merendahkan dan menyingkirkan orang lain. Rasisme pada titik ini adalah gambaran seorang anak kecil dalam tubuh orang dewasa. Badannya besar, namun jiwanya sangat kerdil

Pada dasarnya pelaku rasis itu belum dewasa. Kesenangannya menghina dan menganggap rendah orang lain adalah simbol perilaku menyimpang akibat terhambat dalam perkembangan kepribadian di masa kanak-kanak. Dengan demikian, pelaku rasis adalah orang yang tidak memiliki kepribadian yang dewasa.

Pelaku rasis juga adalah orang yang tidak puas pada keadaan dirinya, sehingga mudah menghakimi sesamanya. Memiliki satu gunung emas, tetapi berhasrat punya gunung emas yang lain. Perilaku rasis ini juga bisa muncul terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya sikap angkuh. Sistem pengendalian yang tidak rapi, yang memungkinkan seseorang menjadi angkuh dan sangat mudah timbul penyimpangan. Sistem pengawasan moral yang tidak ketat, mendorong orang yang gagal dalam perkembangan masa kanak-kanaknya gampang merendahkan sesamanya, memanipulasi fakta, bebas berlaku curang, dan peluang menghina keberadaan sesamanya pun terbuka lebar.

Hal terakhir bahwa rasisme adalah terkait identitas seseorang sebagai makluk sosial. Jika kita melekat pada identitas sosial, maka kita akan mudah terjatuh ke dalam rasisme. Kita mengira kelompok ras ataupun agama kita sebagai yang terbaik. Tinggal selangkah lagi, maka cara berpikir seperti itu terjatuh ke dalam kebencian dan konflik. 

Dengan demikian, identitas haruslah seluas semesta itu sendiri. Kita semua lahir sebagai mahluk semesta, dan akan kembali kepadanya. Identitas sosial, seperti agama, ras, agama dan budaya, hanya sebuah terminal alias persinggahan sementara. Kita adalah makhluk hidup yang tinggal di alam semesta. Tak lebih dan tak kurang.

Meminjam pemikiran filsuf Reza Wattimena, bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat yang mendorong orang untuk bertindak rasis terhadap orang lainnya, karena setiap manusia, apapun latar belakang kultural maupun biologisnya, pada dasarnya, adalah sama, karena merindukan hal yang sama, dan berasal dari titik yang juga sama. Bahan bakar rasisme adalah kesalahan berpikir dan kehendak jahat.

Mari merenung, Wassalam, Hormat di bri

Oleh: Abdy Busthan
Penulis adalah Dosen Uswim Nabire
Komentar

Tampilkan

Terkini