Video

Video News

Iklan

Merenungkan Kembali Pandangan Aloysius Pieris S.J: Masihkah Bermanfaat?

SUARA NABIRE
Kamis, 28 Januari 2021, Januari 28, 2021 WIB Last Updated 2021-01-28T23:02:38Z
SUARA.NABIRE | Aloysius Pieris (selanjutnya ditulis AP) adalah teolog Katolik Srilanka yang pernah menegaskan bahwa tidak akan ada suatu teologi Asia yang tulen apabila mengabaikan dua kenyataan besar Asia: "kemiskinan yang meliputi semuanya" (the overwhelming poverty) dan "keberagamaan yang multi wajah" (the multifaceted religiosity). 

Ketika saya menulis disertasi saya 30-an tahun yang lalu di VU Amsterdam berjudul "Theologia Crucis in Asia", saya mengambil 2 kenyataan ini sebagai "locus theologicus" saya. 

Di bawah ini saya akan mencatat 5 pesan yang disampaikannya kepada beberapa pihak sebagaimana tercantum dalam kata pengantar yang ditulis oleh Paul Knitter dalam bukunya, "An Asian Theology of Liberation". 

Saya berpendapat, kendati tulisan ini sudah cukup klasik, namun masih tetap relevan setidak-tidaknya memberikan inspirasi di dalam perjalanan dan penjelajahan teologis kita di masa kini.

Ada dua hal yang ditanyakan AP yang menggoncang gambaran kekristenan kita yaitu, 'begitu banyak orang-orang miskin', dan 'begitu banyak agama' di Asia. Apakah kekristenan masih tetap relevan dengan dunia macam ini? AP menggumulinya secara panjang-lebar dalam buku setebal 144 halaman dengan ukuran huruf yang kecil ini.

Ada 5 hal yang merupakan pesan dan ditujukan kepada berbagai alamat:

Pertama, hal yang berkaitan dengan pembelaan terhadap dialog lintas-agama dan pluralisme. AP menegaskan bahwa dialog lintas-agama yang tidak bertolak dari pengalaman akan penderitaan manusia, dan tidak menjelajahi amanat pembebasan dalam dunia masa kini yang terkandung dalam setiap agama adalah perkosaan terhadap hakekat agama dan dialog lintas-agama.

Kedua, kepada para teolog pembebasan. Mereka harus menyadari bahwa "pembebasan" bukanlah sekadar ajektiva dari "teologi". "Pembebasan" sinonim dengan "teologi" itu sendiri. AP mengajukan pertanyaan kritis kepada para teolog pembebasan: "Jangan-jangan visi mereka tentang Kerajaan Allah begitu sempit sebab ia terlalu 'Kristen'. Apakah mereka yaitu para teolog pembebasan di Amerika Latin itu sangat dipengaruhi oleh 2 orang Karl: Karl Marx dan Karl Barth dalam pemikiran dialektis mereka? Marx gagal melihat bahwa sesungguhnya ada 'revolution' (revolusi) di dalam agama, sementara pada pihak lain Barth gagal melihat bahwa ada 'revelation' (penyataan) di dalam agama? Karena pandangan sempit terhadap agama-agama lain itu, para teolog pembebasan gagal melihat 'inti soteriologis' dan 'sumber-sumber profetis politik' yang ada dalam agama-agama.

Ketiga, kepada para teolog masa kini, apakah mereka tidak kritis terhadap Karl yang lain lagi, yaitu Karl Rahner. Sebagaimana kita tahu Rahner telah bergeser dari sikap eksklusip ke sikap inklusip terhadap agama-agama, dari 'Christ-against-the religions' ke 'Christ-of-the religions'. Pertanyaannya adalah, apakah pandangan liberal ini tidak sedang mempromosikan 'crypto-colonialist-theology of religions' (suatu teologi agama-agama yang secara tersamar bersifat kolonial)? Kristen anonimus yang diusulkan Rahner bisa saja secara mudah digantikan dengan 'Hindu anonimus' atau 'Budha anonimus', dan seterusnya. AP mensinyalir bahwa yang disebut 'kemutlakan Kristus' tidaklah ditemukan pada gelar 'Kristus' atau 'Anak Allah' tetapi pada misteri penyelamatan dari keselamatan dan pembebasan yang oleh Yesus Kristus dikomunikasikan dalam Pribadi dan ajaran-Nya yang di dalam agama-agama lain diakui dengan nama-nama yang berbeda. Maka keunikan Kristus bagi AP bukanlah merupakan pokok yang unik. "The theology of religions he has worked out in the context of an Asian theology of liberation makes room for a genuine Christian recognition of religious pluralism, without slipping down the slopes of relativism".

Keempat, kepada gereja-gereja Kristen. Bagi AP gereja-gereja di Asia belumlah sungguh-sungguh gereja DARI (of) Asia, baru merupakan gereja DI (of) Asia. Inkulturasi BELUM terjadi. Tetapi memang ada pengarahan keliru seakan-akan inkulturasi sudah terjadi. Berdasarkan pengalaman AP, semua konferensi, bahasan, buku-buku, dll tentang inkulturasi 'distracted the churches from collosal scandal of institutionalized misery that poses a challenge to every religion'. Upaya-upaya yang dilakukan terhadap kebudayaan (culture) Asia telah membutakan mata atau merupakan pelarian dari kebutuhan menghadapi kemiskinan. Maka mestinya Inkulturasi tidak boleh dipisahkan dari "pembebasan". "Pieris turns the tables on the inculturationist question and insists that it is precisely by identifying with Asian peoples in their struggle for justice-as that struggle is nourished by their traditional religions-that authentic inculturation will take place and the church in Asia will indeed become the church of Asia."

Kelima, bagi sesama orang beriman di dalam agama-agama Timur khususnya Budhisme. AP juga menantang agama-agama ini. Adakah sesuatu yang bisa dipelajari oleh agama-agama ini dari kekristenan? Di dalam Alkitab Yahudi-Kristen, kata AP ada antagonisme yang tidak terjembatani antara Allah dan mammon. Tetapi juga suatu perjanjian yang tidak dibatalkan antara Allah dan orang-orang miskin. Allah dari Musa dan Yesus memberi perhatian khusus kepada para budak dan mereka yang tersisihkan. Ini membawa kita kepada suatu pemahaman non-dualistik dari kegiatan pembebasan Allah dan kegiatan pembebasan yang dilakoni oleh mereka yang miskin, sebagai suatu 'indivisible Saving Reality'. Realitas Ilahi yang transenden diwujudkan sebagai yang imanen di dalam kegiatan msnusia untuk membebaskan diri mereka. Inilah barangkali yang bisa dipelajari oleh agama-agama Timur khususnya Budhisme.

Sampai sekian jauh pokok-pokok pikiran AP yang secara jelas memberikan tempat yang semestinya bagi gereja-gereja di Asia di tengah-tengah dua realitas besar tadi.

Sebagai catatan terhadap Marx dan Barth 
Marx melihat agama sebagai "opium des Volkes", candu yang menenangkan justru bagi mereka yang menderita. Maka dalam perjuangan kaum proletar di dalam menghancurkan rantai perbudakan mereka, agama tidak berguna. Bahkan merupakan penghalang bagi perjuangan pembebasan. 

AP sebaliknya justru melihat bahwa agama memiliki aspek pembebasan. Dengan kata-kata lain, agama justru memberi motivasi yang kuat bagi perjuangan memperoleh pembebasan. Revolusi bisa dibangkitkan oleh agama. Tentu saja AP mengakui ambivalensi dari sifat agama yaitu membebaskan dan memperbudak sekaligus. Ambivalensi ini tidak meniadakan fungsi agama yang membebaskan sebagaimana difahami demikian oleh Marx.

Akan halnya Barth, dia hanya mengakui satu-satunya Penyataan (revelation) di dalam Yesus Kristus. Agama adalah ketidakpercayaan. [Religion ist Unglaube]. Itulah ketidakpercayaan kepada anugerah Allah yang memberikan keselamatan. 

Dengan begitu Barth menutup sama sekali peranan agama yang menyiratkan keselamatan (soteria). AP justru berpendapat bahwa setiap agama mengandung unsur soteriologi di dalamnya. Tetapi memang adalah tugas teologi Kristen untuk menemukan unsur-unsur soteriologis yang terkandung di dalam agama-agama itu.

Oleh: Pdt. Dr. A.A Yewangoe
Komentar

Tampilkan

Terkini