Video

Video News

Iklan

Tunduk Kepada Pemerintah

SUARA NABIRE
Sabtu, 28 November 2020, November 28, 2020 WIB Last Updated 2020-12-06T13:26:21Z
Belakangan ini, kita dihebohkan dengan pemberitaan media tentang maraknya aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang “melawan” pemerintah. Sekalipun aksi tersebut lebih bernuansa politis, namun akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat umum. Oleh karena tidak mengandung nilai-nilai edukasi.

Hal ini pula yang mengundang komentar dari banyak tokoh bangsa. Banyak yang memprediksi bahwa apabila pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas kepada kelompok-kelompok itu maka akan menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan situasi ini akan merugikan bangsa dan rakyat Indonesia sendiri. Mengapa? Oleh karena kondisi ini dapat menimbulkan krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah yang sah. Hal baik apa pun yang dilakukan oleh pemerintah akan tetap dinilai negatif oleh rakyat pada umumnya.

Apabila ini terus dipelihara dan tidak ada tindakan atau penanganan serius dari pemerintah maka bisa saja berujung kepada tindakan anarkis, perilaku main hakim sendiri, bahkan konflik horisontal antar suku bahkan agama. Akan tetapi, setelah menyimak beberapa langkah dan tindakan penanganan yang diambil oleh pemerintah, TNI, Polri, maka ada setitik harapan di sana. Sekalipun di dalamnya dibutuhkan konsistensi dari pemerintah.

Kembali ke tema tulisan ini, “Tunduk kepada Pemerintah”. Apabila beberapa alinea sebelumnya telah dibahas dari perspektif pemerintah, maka tema ini sebenarnya hendak melihat dan mencari solusi untuk situasi sekarang dari perspektif rakyat atau masyarakat, khususnya masyarakat gereja.

Setiap warga gereja diajarkan untuk selalu tunduk kepada pemerintah. Sikap ini bukanlah sikap yang berkondisi melainkan mutlak. Mengapa? Oleh karena apabila membaca Alkitab, minimal ada tiga bagian dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru yang menegaskan hal ini, seperti: Roma 13:1; Matius 22:15-22 (bdk. Markus 12: 13-17 dan Lukas 20: 20-26) dan juga dalam 1 Petrus 2:13-14. Ketiga bagian inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini untuk memberikan pemahaman biblis terhadap sikap tunduk kepada pemerintah.

Kita akan mulai melihat bagian yang pertama, Roma 13:1. Seperti apa sebenarnya konteks ayat ini. Ayat ini harus dilihat dalam konteks gereja di Roma, karena merekalah sebagai penerima surat ini ketika Paulus menulisnya. Bangsa Romawi memiliki kepercayaan yang animis. Mereka menyembah roh-roh dari hutan, sungai, gunung, dan alam. Sekalipun mereka memiliki kepercayaan sendiri, kekaisaran Romawi memiliki ideologiyang membuat mereka bisa hidup berdampingan dengan agama lainnya. Mereka bukan hanya bertoleransi, tetapi mereka juga mengambil dan mengadopsi dewa atau dewi dari agama lain menjadi tambahan dewa atau dewi mereka.

Bahkan kaisarpun menjadi objek penyembahan mereka. Kondisi inilah yang mempersulit kehidupan umat Kristen dan Yahudi yang hanya mau menyembah satu Allah saja. Kehadiran dewa-dewi yang begitu banyak sudah merupakan ancaman bagi orang-orang Yahudi, ditambah dengan kewajiban untuk menyembah Kaisar.

Kaisar Nero melihat orang Kristen sebagai bahaya besar bagi kelangsungan kekaisaran Romawi karena jumlah mereka yang semakin besar dan persembahan kurban yang semakin hari semakin sedikit. Nero melihat apabila orang Kristen tetap diberi kebebasan dalam beribadah, maka akan semakin banyak pengikut mereka. Kaisar Nero menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang Kristen. Ia merestui penganiayaan terhadap orang Kristen. Orang Kristen dianiaya dengan sangat ngerinya, misalnya dilabur dengan gala-gala lalu dibakar hidup-hidup dan dijadikan obor pada pesta malam.

Akan tetapi, sekalipun kondisinya seperti di atas, dalam Roma 13:1, Paulus tetap menasihati gereja di sana supaya tetap “takluk kepada pemerintah yang di atasnya”. Bahkan dia menyebut dengan tegas, “sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah”. Bukankah ungkapan ini membingungkan dan terlihat konyol. Mengapa? Karena sudah jelas-jelas kekaisaran Roma di bawah pimpinan Nero telah melakukan tindakan diskriminasi kepada gereja, namun Paulus masih telah menasihati mereka untuk “takluk”, bahkan menyebutnya pemerintah itu berasal dari Allah. Itulah sebabnya perlu menilik dan mencari tahu apa sebenarnya maskud dari ayat ini?

Manfred Brauch, “kita harus membaca nasihat-nasihat ini berdasarkan konteks aktivitas penginjilan Paulus, yang berlangsung di dalam sebuah dunia di mana hukum dan peraturan Romawi telah menciptakan kedamaian dan tata tertib secara relatif, yang menyebabkan penyebaran Injil terjadi dengan cepat”(Manfred T. Brauch,Ucapan Paulus yang Sulit, (Malang: SAAT, 2012), 81).

Sedangkan menurut Moo, “Paulus mungkin sadar bahwa orang Kristen Roma membutuhkan secara khusus nasihat yang demikian sebab ada bukti bahwa bermacam kelompok di ibu kota, termasuk orang Yahudi, menghasut untuk menolak membayar pajak kira-kira pada waktu ini. Sebab itu, Paulus menasihati agar orang Kristen Roma mebayar pajak mereka (6-7) sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk takluk di bawah penguasa-penguasa negara (1a, 5a). Ketaatan demikian dituntut, jelas Paulus, sebab para penguasa pemerintah ditetapkan oleh Allah untuk melayani maksud-maksudnya menghargai kebaikan dan menghukum yang jahat (1b-4, 5b)” (D.A. Carson, R.T. France, J.A. Motyer, Tafsiran Alkitab Abad ke-21 (Matius-Wahyu), Jakarta: YKBK/ OMF, 2017, 369).

Paulus memberikan perintah kepada orang Kristen di Roma untuk tunduk kepada pemerintah (1a). Mengapa? Alasan pertama, karena pemerintah ditunjuk oleh Allah sendiri (ay. 1b). Alasan kedua, karena pemerintah juga merupakan hamba Tuhan yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menghakimi kejahatan (ay. 3-4). Konseuensi apabila tidak tunduk kepada pemerintah, itu sama saja menolak otoritas Allah bahkan orang tersebut dapat dihukum. Dan kemudian Paulus mengulang permintaan atau perintah itu sekali lagi dalam ayat 5. Selanjutnya diikuti dengan permohonan untuk membayar pajak (ay.6) bahkan ditegaskan secara konkret bahwa dengan membayar pajak maka kita sedang menghormati pemerintah (ay. 7).

Kata “pemerintah” di sini menggunakan kata Yunani “eksousia” yang jelas merujuk kepada pribadi-pribadi yang berada dalam posisi-posisi penguasa dalam pemerintahan sekuler, dalam konteks Paulus merujuk kepada pejabat-pejabat kekaisaran dan provinsi. “Tunduk” di bawah pemerintah yang ada berarti mengakui posisi mereka di “atas” orang Kristen dalam “tatanan” di dalam dunia. Tatanan ini mencakup lembaga-lembaga sekuler atau juga lembaga-lembaga yang ditetapkan Allah bagi kebaikan gereja (misalnya: nikah/pernikahan [Efe. 5:22; Kol. 3:18; Tit. 2:5; 1Ptr. 3:1,5]; keluarga [Luk. 2:51]; bahkan termasuk kepemimpinan jemaat [1Kor. 16:16; 1Ptr. 5:5; Ef. 5:21].

Dalam konteks ini Paulus mengingatkan gereja bahwa tiap pemerintah ditetapkan oleh Allah (tetagmenai) dan olehnya itu mereka adalah hamba Allah (secara tidak langsung atau tanpa mereka sadari – ay. 4, 6). Pemerintah mengabdi kepada Allah untuk menegakkan kebenaran dan berbuat baik (ay. 3b-4a), dan sebaliknya menghukum mereka yang berbuat jahat (ay. 3a, 4b). Itulah sebabnya, setiap orang Kristen (bersama dengan orang lain), harus melakukan setiap apa yang dikatakan oleh pemerintah. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah semua ini kita lakukan bukan hanya karena takut memperoleh hukuman dari pemerintah, melainkan karena kita mengakui bahwa Allah berdiri di belakang pemerintah dan kita ingin menghindari untuk melakukan hal yang merusak kata hati kita (ay. 5b).

Ada beberapa catatan tentang pendapat variatif tentang topik dan perikop ini. Ada yang beranggapan bahwa melalui perikop ini, Paulus sedang memerintahkan kita untuk taat kepada pemerintah hanya apabila pemerintah dapat memenuhi fungsi yang diberikan Allah. Sekalipun dalam konteks ini sama sekali tidak menyinggung ketaatan yang berkondisi, yakni tergantung kepada sikap pemerintah.

Ada juga yang beranggapan bahwa Paulus mungkin membatasi diri hanya pada satu situasi langsung dalam komunitas Roma. Akan tetapi anggapan ini juga terbantahkan dengan munculnya frasa dalam ayat 1 yang mengindikasikan sifat universal teks, tiap-tiang orang. Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa takluk di bawah pemerintah dalam konteks ini hanya berarti mengakui kedudukan pemerintah sesuai hukum di dalam hierarki hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh Allah, suatu tatatan yang di puncaknya adalah Allah. Itulah sebabnya, ketika pemerintah mengambil alih tempatnya secara ilegal, dan memerintahkan kita melakukan sesuatu yang yang berlawanan dengan Allah kita yang tertinggi, maka kita bebas – memang bahkan berkewajiban untuk tidak taat. Hanya saja dalam konteks ini tidak begitu tepat, karena dapat memperlemah arti dari “takluk / menaklukkan”.

Itulah sebabnya, menurut analisis terhadap perikop ini bahwa memang Paulus hanya memberikan perintah untuk taat dan tunduk kepada pemerintah supaya tujuan Allah dapat terwujud di dunia ini. Apa tujuan Allah? Tujuan Allah adalah supaya kehidupan manusia dalam masyarakat menjadi kehidupan yang harmonis, penuh damai dan senantiasa tertib (bdk. Rm. 12:10,18). Karena kehidupan dalam masyarakat akan menjadi kacau dan anarkis apabila tidak ada hukum yang secara teratur dilaksanakan oleh pemerintah. Itulah sebabnya, kehadiran hukum dan pemerintah merupakan bagian dari tujuan Allah yang menyeluruh untuk manusia. Sekalipun harus diakui bahwa semuanya ini hanya akan terwujud apabila pemerintah betul-betul dapat bertindak dengan baik dan benar di hadapan Allah.

Sebagai catatan kecil bagi kita bahwa apabila pemerintah melawan tujuan Allah ini maka kita tidak punya hak untuk melawan, memberontak apalagi bertindak makar, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan hal itu. Biarkanlah Allah yang menghukum dan menghakimi pemerintah yang jahat dan lalim, dan tugas kita adalah senantiasa mendoakan mereka, membayar pajak, bahkan jika dimungkinkan untuk memberikan kritik atau masukan kepada pemerintah. Sama halnya dalam konteks Roma 13:1, sekalipun kekaisaran Nero begitu jahat namun Paulus tetap menekankan kepada jemaat di Roma untuk taat dan takluk di bawah pemerintah.

Thomas Hobbes pernah berkata: “lebih baik pemerintahan yang buruk daripada tidak ada pemerintah sama sekali”. Selanjutnya kita akan melihat Matius 22:15-22 (bdk. Markus 12: 13-17 dan Lukas 20: 20-26).Kisah itu bermula ketika sekelompok orang Farisi berniat untuk mencobai Yesus. Dan bersama dengan orang-orang Herodian bertanya perihal, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”

Dengan penuh hikmat Yesus merespons mereka dengan meminta mata uang untuk membayar pajak. Kemudian Yesus memperlihatkan mata uang itu sambil bertanya, “Tulisan dan gambar siapakah ini?” Mereka pun menjawab: “Gambar dan tulisan kaisar”. Lalu Yesus memberikan komentar, “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”.

Leon Morris memberikan komentarnya untuk frasa “berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan..” dengan mengatakan, kata ini memiliki arti “membayar apa yang menjadi utang” (Leon Morris, Tafsiran Injil Matius, (Surabaya: Momentum, 2016), 569). Artinya kewajiban untuk membayar pajak kepada negara diibaratkan seperti utang.

Bahkan John Calvin berkata, “Jangan ada orang yang berpikir bahwa ia kurang melayani Allah ketika menaati peraturan manusia, membayar pajak, atau menundukkan kepala untuk menerima beban lain apa pun”.

Respons dan komentar Yesus dalam perikop ini merupakan bukti dan indikator yang kuat bagi gereja untuk berkata bahwa Yesus sendiri mengajarkan kita untuk senantiasa menghormati pemerintah dan kita wajib menjalankan setiap kewajiban kita sebagai warga negara. Sekalipun kita juga harus menyadari bahwa jangan sampai ketaatan kepada negara menggerogoti apa yang adalah milik Allah. Menurut saya ini adalah hal yang penting untuk diperhatikan.

Terakhir adalah 1 Petrus 2:13-14.Apabila memperhatikan narasi ayat ini, maka sangat identik dengan Roma 13:1. Ungkapan “lembaga” dalam ayat ini menggunakan istilah ktisis dalam teks Yunaninya. Dalam Bahasa Yunani, kata ktisis bukan berarti “badan” atau “instansi/lembaga” (meskipun dapat juga digunakan untuk kegiatan membangun sebuah kota). 

Menurut van Houwelingen, “Dalam Alkitab, ktisis selalu menunjuk kepada penciptaan oleh Allah sebagai keseluruhan, atau kepada makhluk ciptaan sebagai bagiannya. Dalam surat Petrus demikian halnya. Sang Rasul menyebutkan Allah sang pencipta (4:19 bdk. 2Ptr. 3:4)… Seorang penguasa pun adalah manusia saja! Ia hanya bisa hidup berkat penciptanya. Untuk orang Kristen, si penguasa itu bukan makhluk yang non-manusia, atau manusia super, melainkan makhluk ciptaan Allah…hendaklah ajakan Petrus diungkapkan sebagai berikut: tunduklah kepada setiap makhluk manusiawi. Ajakan umum itu kembali dalam kesimpulan nanti, “hormatilah semua orang”(2:17)” (P.H. R. van Houwelingen, Tafsiran Perjanjian Baru: Surat 1 Petrus (Surat Edaran dari Babel), (Surabaya: Momentum, 2018), 153-54).

Sedangkan kata “tunduk” (hupotasso, arti harfiah: menduduki posisi bawahan) ialah hal ketertiban, yang menstrukturkan hubungan-hubungan di dalam persekutuan rumah tangga maupun di luarnya. Sebagai warga negara setiap orang harus menyesuaikan diri dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan, dengan jalan menghormati para penguasa (2:13). Teks dalam 1 Petrus 2:13-14 ini juga hendak menekankan tentang sebuah anjuran, nasihat atau pun perintah bahwa setiap orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah bukan karena manusianya melainkan karena Allah.

Dengan demikian, sebagai warga gereja tidak ada alasan bagi kita untuk melawan, memberontak hingga tidak mengakui pemerintah yang sah. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada semua warga gereja yang juga akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Apabila nantinya bukan kandidat kita yang akhirnya terpilih, namun kita harus tetap mengakui dan menghormati kandidat yang terpilih karena itu adalah pilihan rakyat mayoritas.

Bahkan kita juga harus berani mengatakan bahwa terpilihnya calon atau kandidat yang lain itu atas kehendak dan izin dari Tuhan. Hal inilah yang juga diyakini BTP ketika mengikuti Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun silam. BTP yakin bahwa apabila Tuhan menghendakinya terpilih sebagai Gubernur maka sekeras apa pun usaha kelompok lawan membuat isu negatif tentangnya, dia yakin akan tetap terpilih. Menurut saya pemahaman seperti BTP ini juga sesuai yang Paulus kemukakan dalam Roma 13:1, bahwa tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah.

Apabila ternyata pemerintah banyak melakukan kekeliruan, apakah kita masih tetap taat? Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghormati dan tidak taat kepada pemerintah. Bukan karena pemerintahnya, melainkan karena perintah Allah. Apabila ternyata pemerintah memiliki kekeliruan, maka sebagai orang Kristen kita juga jangan tinggal diam, melainkan wajib senantiasa memberikan kritik dan masukan – tetapi dikemukakan dengan cara-cara yang elegan.

Perikop ini juga memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud pemerintah di sini bukan hanya lembaga negara melainkan juga dalam instansi-instansi lainnya seperti: keluarga, kelurahan, bahkan termasuk yayasan atau sekolah. Kita harus selalu menghormati dan menaati pimpinan atau setiap person yang ada di atas kita. Oleh karena melalui Alkitab, kita belajar bahwa orang-orang Kristen tidak memiliki sifat pengkhianat dan sifat pemberontak. Melainkan Alkitab mengajarkan kita bahwa kita adalah agen kasih Kristus di dunia ini. Sehingga sekalipun kita diperlakukan tidak adil, diskriminatif, kita tidak boleh memberontak, melainkan kita senantiasa tetap setia pada konstitusi dan negara.

Selain itu, kita juga diajarkan bahwa menaati dan taat kepada pemerintah penting dan harus dilakukan, namun jangan sampai itu kemudian merenggut ketaatan kita kepada Allah. (AP)

Tentang Penulis: 
Adi Putra, dilahirkan di Seriti, Sulawesi Selatan. Saat ini menjabat sebagai Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Teologi Pelita Dunia Tangerang dan mengajar: Bahasa Yunani Koine, Hermeneutik, Tafsir PB, Teologi PB dan Homiletik. Ditahbis sebagai Pendeta dalam lingkup pelayanan Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI).
Komentar

Tampilkan

Terkini