Video

Video News

Iklan

Terobosan Meningkatkan PAD dan Ekonomi Masyarakat Nabire, Sebuah Kajian Singkat

SUARA NABIRE
Senin, 23 November 2020, November 23, 2020 WIB Last Updated 2023-03-04T02:53:35Z
Aroma hiruk dan pikuk pesta demokrasi pada level Pilkada di Kabupaten Nabire semakin menyandera siapa saja yang terlibat didalamnya untuk masuk ke dalam lautan diskursus yang tiada bertepi. Ibarat satu epik yang teramat panjang, lebih panjang dari sebuah epik Homer, atau The Iliad and the Odyssey.

Ya, ketiga Paslon muncul dengan berbagai program dan retorika politis yang sangat menggiurkan, demi mendulang simpatisan. Bahkan tidak hanya Paslon, para Tim pemenangan atau Timses pun berlomba-lomba mempengaruhi masyarakat untuk memilih Paslonnya masing-masing. Tentu tujuannya hanya satu: “menang”. Tidak peduli dengan cara arogan dan mempropaganda, serta menjatuhkan lawan, atau apalah itu, asalkan tujuan ini dapat tercapai. 

Seperti itulah warna politik di medan merdeka ini, khusus di kabupaten Nabire tercinta. Kita tentu sudah terbiasa dengan sensasi-sensasi konyol dan lelucon-lelucon nakal yang kerap muncul menyongsong pesta demokrasi. Saya pikir, tidak perlu dipersoalkan. Inilah realitas. Suka tidak suka, mau atau tidak mau, siapapun dia, memang harus terperangkap di dalamnya. Dan kita biarkan saja ini terjadi dan mengalir apa adanya. Singkatnya, saya tidak ingin mempersoalkannya disini.

Saya kira kita tinggalkan saja soal diatas. Mari kita masuk pada hal yang sedikit substantif. Apa itu? Saya ingin kembali pada judul diatas: “Suatu Terobosan Dalam Meningkatkan PAD dan Ekonomi Masyarakat Nabire”.

Mari kita mulai dengan konsep “potensi”di daerah ini. Salah satu potensi di kab. Nabire yang dapat diandalkan untuk meningkatkan PAD Kab. Nabire, dan bisa mempercepat peredaran uang di masyarakat adalah dengan mengoptimalkan potensi pariwisata terutama Ekowisata (wisata berbasis alam) dan budaya.

Mengapa? Destinasi wisata khusus yang sangat terkenal di Indonesia, bahkan di level dunia, adalah wisata Hiu Paus di kawasan Teluk Cendrawasih. Selain itu, tentu masih banyak potensi wisata alam lainnya di sekitar wilayah Nabire, misalnya di wilayah Meepago (Wagete, Paniai dan Dogiyai) yang saat ini sudah dapat dilalui melalui akses darat yang sesungguhnya dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan PAD Kabupaten Nabire.

Hal yang paling penting saat ini adalah membangun dan memperbaiki aksesibilitas atau infrastruktur ke kampung-kampung serta daerah-daerah yang akan menjadi destinasi wisata. Selain itu, infrastruktur Bandara Nabire yang baru di Kaladiri Wanggar harus segera diselesaikan sehingga dapat didarati pesawat berbadan lebar yang melayani penerbangan dari berbagi kota besar di Indonesia.

Nah, sampai sini kita perlu pahami bahwa masalah infrastruktur atau aksesibilitas di Kabupaten Nabire masih menjadi salah satu kendala utama, sehingga menyebabkan jumlah wistawan (terutama wisatawan asing) cenderung menurun dalam memanfaatkan Kota Nabire sebagai Pintu Masuk untuk berkunjung ke kawasan wisata Hiu Paus di Kwatisore.

Saya coba mengambil dasar pijakan data dari Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih (BBTNC) tahun 2015 -2019, dimana jumlah wisatawan asing yang datang ke kawasan Hiu Paus di Teluk Cendrawasih Nabire adalah sebanyak 12.568 na orang. Belum lagi jika ditambah dengan wisatawan domestik atau lokal dari berbgai daerah di Indonesia.

Saya pikir mungkin sebagian besar para wisatawan tersebut lebih memilih Kota Manokwari sebagai Pintu Masuknya. Dan hal ini disebabkan karena akses langsung dari kota-kota besar di Indonesia dan infrastruktur bandara di Manokwari yang sangat mendukung untuk didarati oleh pesawat berbadan lebar.

Kita bisa lihat bahwa pada tahun 2018 – 2019, terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan di kawasan wisata Hiu Paus di Teluk Cendrawasih, yang disebabkan selain masalah aksessibilitas dari Kota Nabire ke Kwatisore, juga masih adanya pungutan-pungutan dari masyarakat setempat yang dianggap memberatkan para wisatawan atau operator pariwisata sehingga berpengaruh terhadap kenyamanan para wisatawan di lokasi wisata tersebut.

Tentu hal ini perlu campur tangan Pemerintah Daerah sebagai pembina masyarakat, agar dapat ikut memperbaiki tata kelola wisita di tingkat kampung, misalnya dengan memfasilitasi membuat peraturan kampung berkaitan dengan retribusi atau lewat Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sehingga nantinya akan memberikan manfaat baik kepada pihak pemerintah dan masyarakat secara khusus, dan terpenting adalah secara berkesinambungan.

Saya pikir terobosan atau inovasi baru yang berani agar terjadi perubahan yang cepat di tingkat akar rumput, dalam hal ini masyarakat Nabire, memang membutuhkan pemimpin daerah yang kreatif dan inovatif. Dalam hal ini Kepala Daerah harus lebih pro-aktif, misalnya dengan 'menjemput' turis (manca negara dan domestik) di Bali, Yogya dan Jakarta dan kota-kota di Tanah Papua. Selain itu, ke depannya harus membuka penerbangan penerbangan langsung Denpasar/Yogya/Jakarta, Makassar, ataupun Sorong – Nabire PP secara bertahap.

Disamping itu, peran utama yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah juga dibutuhkan dalam memfasilitasi penyiapan modal atau kredit untuk rakyat dalam membuat “Homestay” di kampung.

Sebagai asumsi dan simulasi, misalnya terdapat 400 rumah tangga di Nabire yang telibat dalam bisnis pariwisata dengan membuat Homestay dimana-dimana. Dan masing-masing terdiri 4 kamar. Satu kamar dihargai Rp 300.000 per hari dengan tingkat hunian (Occupancy rate) nya 0,7, maka berarti dalam satu tahun saja terdapat dana yang beredar di masyarakat paling sedikit Rp120 Milyar, Ini belum termasuk bisnis warung/rumah makan, air mineral, mobil sewa, pramuwisata, ukiran, seni tarian dan lainnya. 

Jadi, sampai sini kita bisa sepakat bersama bahwa sektor wisata merupakan sektor yang memiliki efek pengganda (multiplayer effect) yang besar terhadap kegaiatan-kegiatan ekonomi lainnya.

Berdasarkan asumsi jumlah uang yang beredar di masyarakat dari aktivitas tersebut, jika dikalikan dua saja, berarti dari sektor pengembangan pariwisata memungkinkan akan menghasilkan sekitar Rp 240 Milyar yang langsung beredar di masyarakat. Jumlah Rp 240 Milyar ini jauh lebih besar dari PAD Kabupaten Nabire yang hanya sekitar Rp 40-an Milyar atau kurang lebih 1/3 dari total APBD Kab. Nabire, sebesar Rp 1. 3 Trilyun.

Nah, dengan Jumlah 400 rumah tangga yang memiliki Homestay dengan 4 kamar rata-rata itu sama dengan kurang lebih ada 2.000 orang wisatawan (manca negara dan domsetik) setiap hari di Nabire. Apakah angka ini tidak realistis? Sebaliknya, sangat realistis sebagai perbandingan total wisatawan ke Bali tahun 2019 yaitu 6.275.210 orang. Apa artinya? Artinya bahwa Pemerintah Daerah kabupaten Nabire harus cerdas dan berani untuk melakukan terobosan baru dengan cara mengarahkan 2.000 orang dari jumlah sebanyak itu setiap 4 (empat) hari ke Nabire, tentu dengan pro-aktif menjual potensi pariwisata Nabire, baik di dalam negeri dan luar negeri di pusat-pusat destinasi wisata di Indonesia (seperti: Bali,Yogya,Jakarta, dll).

Sobat, mungkin masih banyak lagi yang ingin saya ulas disini. Namun kita terbatas oleh ruang, jarak dan rindu...hehe.. jadi bisa kita diskusikan dalam suasana ngopi bareng.

Salam ..Wassalam ..Hormat di bri
Oleh. Abdy Busthan 
(Dosen dan Penulis Buku)
Komentar

Tampilkan

Terkini