Video

Video News

Iklan

Politik Santun Pilkada Nabire

SUARA NABIRE
Sabtu, 28 November 2020, November 28, 2020 WIB Last Updated 2020-12-23T05:30:30Z
Pilkada Nabire pada 9 Desember 2020 akan berlangsung kurang lebih dua minggu ke depan. Kompetisi para kandidat semakin menukik. Terlihat nyata di dunia maya. saling caci maki, saling tuduh dan merendahkan pihak lain timbul tenggelam setiap hari. Opini yang muncul terkadang bersifat hoax demi menjatuhkan lawan politik. Saling ejek sudah merupakan argumentasi irasional dari para pendukung. 

Mereka lupa bahwa pertarungan politik tidak harus diletakkan dalam kompetisi arogansi yang berakibat meluluhlantakkan persaudaraan dan persatuan anak negeri. Harus dipahami, pertarungan politik mestilah diletakkan dalam koridor demokrasi yang penuh kontestasi, saling adu visi misi, demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. 

Pilkada itu merupakan pesta demokrasi yang menghasilkan pemimpin berkualitas untuk membangun daerah ke arah yang lebih baik lagi. Itu berarti, pemahaman pendukung tentang pilkada sebagai sarana demokrasi untuk mendapatkan pemimpin yang berkualiatas bukan tujuan utama, melainkan tujuan utama mereka adalah “KEKUASAAN”. 

Terkait ambisi kekuasaan ini, para kandidat dan pendukungnya adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati rakyat. Menjelang pilkada, mereka akan mengucapkan berbagai janji yang apabila terpilih, akan mensejahterakan rakyat, meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan, menduduki jabatan, sampai kepada money politics.

Politik dengan style seperti ini, adalah politik “AMBISIUS KEKUASAAN”, kenapa? Karena setelah terpilih, janji para kandidat diingkari, bukan untuk rakyat saja, juga terhadap pengikutnya yang militant sekalipun.

Konsekwensi dari umbar janji, akan melahirkan upaya menghalalkan berbagai cara untuk menduduki kekuasaan itu. Istilah “KAWAN” dan “LAWAN” seakan menjadi dikotomi antara dua kubu yang berlawanan. Bila perilaku ini menjadi identitas berdemokrasi di negeri ini, kita khawatir rakyat akan semakin menanam dendam yang berkepanjangan. Dendam yang tidak akan hilang setelah kompetisi berakhir, malahan berpotensi menjadi penyakit yang akan menyulitkan anak negeri ini untuk duduk bersama, menjalin persatuan kesatuan menciptakan iklim yang kondusif.

Untuk itu, sudah saatnya anak negeri meninggalkan jurus kasar berdemokrasi dan perilaku devide det impera karena hakikat dari demokrasi sering disalahartikan sebagai kebebasan mutlak, sehingga terjadi tindakan sewenang-wenang. Disisi lain, etika sebagai penasihat menjadi terabaikan oleh kebebasan individu.

Demokrasi menuntut agar masyarakat menyuarakan aspirasinya dengan bebas. namun dalam koridor yang proporsional dan tidak melanggar nilai moralitas dirinya sendiri. Pemahaman demokrasi menurut Abraham Lincoln, yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, terabaikan. Ini adalah akibat kebebasan berpendapat yang tidak proporsional sehingga berpotensi memicu konflik sosial-politik di kalangan masyarakat.

Banyak diskusi yang memperdebatkan apakah sesuatu yang diperjuangkan bersifat etis ataupun tidak etis, lalu terjadi kesepakatan antar individu yang membentuk hukum, namun kemudian hukum itu dilanggar oleh dirinya sendiri. Dari aspek kriminologis, jika potensi konflik dibiarkan maka akan muncul kelompok yang dibayar melakukan anarki. Selanjutnya, akan muncul pula kelompok yang secara ideologis mendukung anarki. Terdapat pula proses belajar menciptakan atau melakukan konflik dalam berbagai model dan ini diciptakan dan dikelola guna menjatuhkan kompetitor.

Rachels (2004) menjelaskan bahwa egoisme terkadang dapat menimbulkan konflik, karena egoisme membuat orang lain merasa dirugikan. Namun pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik, hal inilah yang perlu dijadikan pertimbangan mengapa etika seharusnya dapat mengontrol ritme demokrasi agar menjadi kebaikan bersama yang hakiki. Harapan kita semua agar Pilkada 9 desember 2020 di Kabupaten Nabire ini dapat terlaksana dengan baik.

Untuk itu, antisipasi konflik sosial dapat dilakukan melalui peningkatan integritas dan netralitas seluruh steakholders: penyelenggara Pilkada, aparat penegak hukum, Pemerintah Daerah, satgas COVID-19, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Kta semua juga dituntut berperan melawan hoax/disinformasi/berita bohong yang bersifat provokatif. Selain itu, komitmen dari peserta Pilkada, dan partai politik sangat diperlukan untuk menguatkan pilkada yang ideal santun dan beretika.

Pilkada yang ideal adalah tentu Pilkada tanpa konflik sosial, tanpa kerusuhan, tanpa caci maki di media sosial ataupun kampanye hitam. Justru itu sangat diperlukan kerjasama semua elemen negeri harus terlibat dan memiliki peran penting dalam mendorong agar pilkada berlangsung free and fair, damai, dan tetap sehat, mengingat kondisi pandemi COVID-19 masih menunjukkan ketidakpastian.

Pakar Politik, Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai. Itu berarti sebagai pemilih yang cerdas, tentu kita harus selektif dalam memilih calon pemimpin, jangan sampai kita terbawa arus propaganda yang irasional sehingga abai melihat Visi Misi dan program kerja yang seharusnya merupakan arah kemana negeri ini dibawa.

Karakteristik pemilih di Kabupaten Nabire berdasarkan tingkat militansinya, kalau disesuaikan dengan pendapat Anthony Down, dalam “An Economic Theory of Democracy” (1957), maka tergolong dalam: PertamaDie Hard Supporter atau True Believers, adalah mereka yang rela berkorban baik itu moril dan materiil, bahkan rela mati demi keyakinannya. Kelompok ini yang menjadi penyumbang terbesar konflik.

KeduaUsefull Idiots, dimana kelompok ini adalah mereka yang tidak punya kepentingan politik tapi mereka mudah di manfaatkan karena mereka adalah orang-orang pragmatis. Hubungan politik yang didasari oleh ikatan emosional akan mengarahkan massa pada tingkat militansi yang tinggi. jika massa dimobilisasi ke arah yang negatif kecenderungan untuk menjadi radikal dapat terjadi dan konflikpun tidak dapat terhindarkan lagi.

KetigaCore Supporter, kelompok ini adalah mereka yang mempunyai kepentingan politik karena adanya ikatan kelembagaan atau organisasi. Pendukung yang tergabung dalam kelompok Core Supporter cenderung memilih calon karena alasan tertentu misalnya karena alasan kesamamaan visi dan misi dan kecenderungan untuk dimobilisasi ke arah negatif kecil, sehingga kecil juga kemungkinan untuk mengarah terjadinya konflik.

Keempat, Simpatisan, kelompok ini adalah mereka yang hanya memilih berdasarkan informasi yang mereka terima. Orang yang berada pada kelompok ini adalah mereka yang tidak mempunyai ikatan pada organisasi manapun, partai politik manapun, tidak memiliki ikatan emosional dan organisasional terhadap kandidat yang ada. Kelompok ini hanya bereaksi berdasarkan rasionalisasi dari apa yang ditawarkan oleh kandidat dan tim suksesnya.

Keempat jenis kelompok masyarakat inilah yang membentuk struktur pendukung kandidat yang akan bertarung dalam pilkada. Jika kelompok yang berada pada zona dengan tingkat militansi tinggi lebih besar pemanfaatannya dalam kegiatan politik maka ini rawan memicu potensi konflik.

Mencegah terjadinya konflik, semua pihak harus menerapkan “Politik Santun” atau demokrasi yang beretika, sehingga potensi konflik dapat diredam dan Pilkada dapat berjalan lancar. Artinya, jangan hanya karena kepentingan Pilkada yang sesaat itu, persatuan dan kesatuan anak negeri menjadi porak poranda.

Dalam menerapkan politik santun dapat dimulai dengan cara-cara sederhana, seperti tidak melontarkan kata-kata kasar yang tidak senonoh agar harmonisasi juga terjaga. Berhati-hati dalam berdebat dengan lawan politik, bijak dalam berkomentar di sosial media, sertakan data apabila ingin mengkritik jalannya suatu pemerintahan, karena kritik yang baik sejatinya tidak memojokkan pemerintahan tertentu, karena ketika kita menang dalam pilkada nanti, kita juga akan masuk dalam pemerintahan dan sudah tentu kita tidak inginkan hal yang sama terulang di negeri yang kita banggakan ini. 


Oleh: Dr. Ch. M. Lewerissa, S.Sos., S.Pd., M.Si 
Penulis adalah ASN Dosen LLDIKTI Wilayah XIV,Papua-Papua Barat, serta KaJur Progdi Ilmu Pemerintahan sekaligus Kepala LPPM di USWIM Nabire
Komentar

Tampilkan

Terkini