SUARA.NABIRE - Perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perdasus No. 21/2008, merupakan jaminan k...
Menyikapi hal tersebut, selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Ir. Ben Gurion Saroy, M.Si, mengatakan pentingnya acuan dalam Perdasus dan Perdasi untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan negara dalam wilayah adat di Papua.
"Kepastian hukum merupakan hal mendasar dalam perubahan paradigma pengelolaan dan pemanfatan hutan di Papua atas berbagai permasalahan eksploitasi hutan yang sudah terjadi selama puluhan tahun di Papua," demikian dikatakan Saroy ketika dikonfirmasi awak media ini melalui seluler pada Senin (03/8/20).
Dalam hal ini Saroy melihat bahwa bagaimana kondisi ke depan dalam pengelolaan dan pemanfataan hutan di Papua, ketika Perdasus No. 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua, dipahami sebagai peraturan di daerah yang memiliki keunggulan dan kekhususan tersendiri (lex specialis) karena lahir sebagai peraturan pelaksana UU Otsus Papua,Namun disisi lain ada pula kebijakan yang bersifat nasional (lex generalis) semacam Permen LHK No. P.32/2015 tentang Hutan Hak dan Permen LHK No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kadangkala lebih menunjukkan kekuasaan (superior) terhadap kebijakan di daerah.
"Dalam konteks Papua, akan menjadi sangat sulit ketika disebutkan adanya hutan negara dalam wilayah adat. Konsepsi hak milik atas tanah dan hutan (wilayah adat), pemahamannya melewati fungsi kawasan hutan apapun, karena hanya dibatasi pada batas wilayah adat antar komunitas masyarakat adat," ungkap Saroy.
Ir. Ben Gurion Saroy, M.Si (Kepala Balai Besar TNTC)
Saroy menambahkan, jika melihat Pasal 1 angka (13) Perdasus No. 21/2008, Hutan masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan Pasal 5 bahwa Masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing yang harus dilindungi sebagaimana diatur Pasal 11, yang berbunyi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
"Keberadaan masyarakat hukum adat perlu dikuatkan dengan adanya kepastian jenjang kepemimpinan kelembagaannya dari level tertinggi atas hingga level bawah yang berada di daerah. Kelengkapan lain seperti kepastian area atau wilayah adat juga diperlukan agar segala bentuk perlindungan kepada masyarakat adat dapat terarah dengan baik, " tutur Saroy.
Ditandaskan Saroy bahwa posisi masyarakat adat di Indonesia justru menjadi semakin kuat sejak keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang secara legal melindungi keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya.
"Akan lebih baik lagi jika keberadaan masyarakat adat dikuatkan dengan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) dan atau Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI), sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati dan Walikota dalam menata wilayah dan masyarakat yang dikelola, sejalan dengan tuntutan otonomi khusus di Papua," demikian ungkap Saroy kepada awak media ini. (Red)
Kepastian terkait hal ini, lanjut Saroy, akan sangat memudahkan para investor yang akan menanamkan saham untuk berinvestasi di tanah Papua.
"Hal yang selama ini menjadi kendala dalam pembangunan di tanah papua sebagian besar berasal dari tidak jelasnya kepemilikan aset (tanah/lahan) sehingga investor mengalami kebingungan dalam pengurusan pembayaran ulayat," terangnya.
Ditandaskan Saroy bahwa posisi masyarakat adat di Indonesia justru menjadi semakin kuat sejak keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang secara legal melindungi keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya.
"Dalam keputusan tersebut, hutan adat bukan lagi dikategorikan sebagai hutan negara dan pengelolaannya menjadi kewenangan masyarakat adat dengan tetap berpedoman pada konstitusi, sebagaimana di tegaskan Mahkamah Konstitusi RI tahun 2013," tegas Saroy
Dan sebagai bentuk follow up dari Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut, lanjut Saroy, Kementerian Dalam Negeri RI menerbitkan peraturan Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Menurutnya, dalam peraturan tersebut terdapat tiga tahap untuk mendapatkan pengakuan hukum yaitu: Pertama, indentifikasi (dengan mencermati sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat); Kedua, verifikasi dan validasi; Ketiga, penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
Dan sebagai bentuk follow up dari Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut, lanjut Saroy, Kementerian Dalam Negeri RI menerbitkan peraturan Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Menurutnya, dalam peraturan tersebut terdapat tiga tahap untuk mendapatkan pengakuan hukum yaitu: Pertama, indentifikasi (dengan mencermati sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat); Kedua, verifikasi dan validasi; Ketiga, penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
"Akan lebih baik lagi jika keberadaan masyarakat adat dikuatkan dengan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) dan atau Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI), sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati dan Walikota dalam menata wilayah dan masyarakat yang dikelola, sejalan dengan tuntutan otonomi khusus di Papua," demikian ungkap Saroy kepada awak media ini. (Red)
Tidak ada komentar
Posting Komentar