Kekuasaan itu ibarat seorang wanita cantik dan seksi sedang membuka bajunya di depan seorang pria yang hampir setahun lamanya tidak berhubun...
Ya, betapa menggodanya kekuasaan itu. Dengan kekuasaan, kita dihormati dimanapun kita pergi. Dengan kekuasaan, kita bisa memenuhi apa saja yang kita inginkan. Ya, penghasilan besar meskipun tak dibarengi kinerja yang sepadan, peluang korupsi sangat terbuka lebar, dan bla bla bla lainnya.
Singkatnya siapa saja bisa mengubah keadaan dengan kekuasaan yang ia miliki. Itulah sebabnya jika berbicara tentang kekuasaan, para pemikir besar di dunia selalu menarasikannya dalam dua wilayah yang saling berantagonis. Ada yang mencerca, namun tak sedikit yang berharap.
Rutger Bregman, seorang sejarawan dan penulis populer asal Belanda, mengungkapkan rayuan korup dari kekuasaan. "Orang-orang berhati tulus menjadi keji dan rakus, ketika memegang kekuasaan".
Lord Acton (1833-1902), seorang ahli sejarah kelahiran Napoli Italia, juga terkenal dengan ungkapannya tentang kekuasaan. Menurutnya, "kekuasaan cenderung membuat manusia korup (power tends to corrupt), dan kekuasaan absolut membuat manusia menjadi korup secara absolut (absolute power corrupts absolutely)".
Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, juga melihat daya dorong kekuasaan di dalam batin manusia. Bahkan, ia menyebut dorongan manusia itu sebagai kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht).
Tak ada yang kiranya mampu merasakan dilema kekuasaan, selain Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang membawa AS keluar dari era gelap perbudakan. Ia pernah berkata, jika kamu ingin melihat karakter asli seseorang, berilah ia kekuasaan. Demikian ungkapan sang Lincoln yang kerapkali digunakan para aktivis modern
Kekuasaan yang sesungguhnya terletak pada pengetahuan (knowledge is power). Itulah kiranya yang ditekankan oleh Francis Bacon, salah seorang pemikir Pencerahan Eropa. Bahkan konn dengan kutipan itu, Eropa memasuki era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dasyat.
Oscar Wilde, seorang penyair Irlandia, punya pendapat menarik soal kekuasan. Segala di dunia, katanya, adalah soal seks, kecuali seks itu sendiri. Seks adalah soal kekuasaan.
Ya, rangkaian refleksi para pemikir dunia tentang kekuasaan kiranya tak lengkap, jika tak ditutup dengan pemahaman Mahatma Gandhi tentang kekuasaan. Hari ketika kekuatan cinta (the power of love) lebih besar dari pada kecintaan manusia pada kekuasaan (love of power), demikian kata Gandhi, maka dunia akan mengenal kedamaian.
Mari kita refleksikan..
Hemat saya kekuasaan itu netral. Ia tidak baik, ataupun tidak buruk. Kekuasaan dikatakan netral karena “kekuasaan” sesungguhnya bisa bersifat positif dan negatif apabila digunakan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Artinya, manusialah yang menentukan arah kekuasaan ini (bisa negatif, juga bisa positif).
Jadi, kekuaasaan pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang netral adanya. Sebab tergantung pada manusia yang menggunakannya. Disini, kekuasaan bisa bersifat destroy (menghancurkan) dan bisa pula bersifat profitable (menguntungkan).
Bisa digambarkan bahwa kekuaasaan ibarat sebuah pistol di tangan polisi dan pasien di tangan dokter. Pistol bisa membunuh orang yang tidak bersalah jika digunakan dengan sembarangan, dan pistol bisa pula membawa keuntungan untuk menembak mati penjahat jika digunakan Polisi secara tepat. Begitupun dengan pasien ditangan dokter. Pasien akan mendapat kesembuhan jika dokter mengobatinya secara jujur dengan memberikan pengobatan yang tepat, dan bisa pula penyakit pasien bertambah parah jika dokter tidak jujur dan asal-asalan mengobatinya.
Karena itu, kekuasaan sangat membutuhkan integritas!
Integritas
Tidak jarang telinga kita mendengar kicauan pemimpin politik yang menggembar-gemborkan janji palsu tentang program dan jabatan tertentu, namun semua dilupakan dalam sekejap ketika sudah menduduki singgasana kekuasaan yang diinginkannya. Tentu bukan karena tidak memiliki visi dan misi, tetapi karena ia miskin integritas.
Artinya, visi dan misi tidak cukup untuk dijadikan syarat dalam kekuasaan. Namun, tidak berarti visi dan misi itu tidak penting, tetapi tanpa integritas maka keduanya hanyalah semboyan belaka. Rendahnya kualitas integritas yang dimiliki seorang pemimpin yang berkuasa tentu dapat melumpuhkan visi dan misi serta kualitas moral pemimpin itu sendiri.
Lalu apa itu integritas? Istilah "integritas" berasal dari kata Latin “integer” yang mencakup aspek lahiriah, moral, etika, dan karakter yang mulia. Kata bahasa Inggris “integrity” yang berarti menyeluruh, lengkap atau segalanya. Kamus Oxford menghubungkan arti integritas dengan kepribadian seseorang, seperti: jujur dan utuh. Integritas kerap pula dipahami sebagai tindakan konsisten sesuai nilai-nilai dan kode etik, atau dengan kata lain, integritas sebagai “satunya kata dengan perbuatan”.
Kennet Boa, dkk (2013), menyatakan bahwa integritas berarti “benar, lengkap dan utuh”. Seorang yang berintegritas senantiasa bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran normatif. Seorang yang berintegritas, memiliki keutuhan pribadi. Seorang yang beritegritas itu jujur dan bermoral teguh. Itu sebabnya Paul J. Meyer (2007) menyatakan bahwa “integritas itu nyata dan terjangkau serta bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia”.
Jadi, ketika berbicara tentang integritas, tentu tidak bisa dilepaskan dari kepribadian dan karakter seseorang dengan sifat-sifat seperti: dapat dipercaya, komitmen, tanggung jawab, kejujuran, kebenaran, kesetiaan dan lain sebagainya.
Konon, di Tiongkok kuno orang menginginkan rasa damai dari kelompok Barbar utara, itu sebabnya mereka membangun tembok besar. Tembok itu begitu tinggi sehingga mereka sangat yakin tidak seorang pun yang bisa memanjatnya dan sangat tebal sehingga tidak mungkin hancur walau pun di dobrak. Sejak tembok itu dibangun dalam seratus tahun pertama, setidaknya Tiongkok telah diserang tiga kali oleh musuh-musuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil masuk karena temboknya yang tinggi, tebal dan kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Apa yang terjadi kemudian? Musuh berhasil masuk.
Orang Tiongkok berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan, tetapi gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap itu yang tidak hanya menghancurkan dirinya tapi juga orang lain.
Nah, betapa sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah integritas. Padahal, walau pun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi sebuah integritas, akan lebih banyak risiko dan akibat fatal yang terjadi jika harus mengorbankan integritas. Bila kita tidak memperhatikan sikap dan tindakan, kenikmatan sesaat seringkali berujung pada akibat buruk yang berkepanjangan. Demikianlah setidaknya pentingnya posisi integritas ketika seseorang itu memegang kekuasaan.
Menutup refleksi ini, saya ingin mengkorelasikan konsep kekuasaan dan integritas dengan mengutip apa yang dikatakan Yesus Sang Guru Agung itu, bahwa kekuasaan itu "melayani". Artinya, pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang ketika memegang kekuasaan, dia memimpin bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Markus 10:45)
Kekuasaan dan kemewahan dunia ini tentu bisa dimanipulasi. Beberapa pun bisa dibayar untuk mencapai kemuliaan di duniawi ini. Termasuk mengorbankan integritas moral.
Cendekiawan menjadi pelacur intelektual, wakil rakyat menjadi penghianat kepercayaan rakyatnya. Bahkan para pejabat pemerintahan banyak yang melayani rakyatnya dengan dasar suap menyuap uang karena kekuasaan ada ditangannya.
Namun sekali lagi, kesejatian manusia tidak terletak disitu. Kesejatian dan kesahajaan insan manusia hanyalah terletak pada kemampuannya untuk melayani sesama, dan bukan dilayani sesama. Sebab Kristus datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Inilah yang terpenting bagi pemimpin yang berintegritas, bagi mereka yang memiliki kekuasaan!
Wassalam
Hormat di bri
Oleh. Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar