SUARA.NABIRE - Kawasan Timur Tengah bukan hanya dihuni oleh umat agama Islam, Yahudi atau Kristen saja melainkan juga Druze, Bahai, Zoroastr...
Kali ini saya ingin sedikit menyinggung tentang umat Yazidi, khususnya kaum perempuannya. Mungkin anda mengira kalau foto sejumlah perempuan berhijab di bawah ini adalah kaum perempuan Muslimah di Timur Tengah. Tidak. Mereka adalah umat Yazidi di Irak (foto courtesy: Peter Bregg, C.M). Foto ini diambil di sebuah kemah pengungsian Yazidi di Irak.
Tradisi perempuan Yazidi memang berhijab. Meskipun tentu saja ada yang tidak karena itu pilihan masing-masing individu.
Apakah Yazidi itu?
Para sarjana agama berpendapat bahwa Yazidi adalah "agama sinkretik" dari berbagai agama: Zoroastrianisme, Kristen, dan Islam. Bahkan ada yang menambahkan bukan hanya campuran dari Kristen, Islam dan Zoroastrianisme saja tetapi juga Manichaeanisme, Gnostik Mandaeanisme, Judaisme dan Kristen Nestorian. Tetapi ada pula yang menyangkal. Yazidi adalah Yazidi, tidak ada sangkut-pautnya dengan agama-agama lain. Lain kali saya jelaskan tentang agama ini.
Postingan ini sekedar untuk melengkapi postingan-postinganku sebelumnya tentang tradisi berhijab yang sudah banyak sekali di Facebook. Fakta bahwa umat Yazidi (dan juga Druze dan lainnya) di Timur Tengah yang juga berhijab, menunjukkan bahwa tradisi hijab ini bukan melulu "properti kultural" milik Yahudi, Kristen, apalagi "si bungsu" Islam. Tetapi sebuah tradisi dan budaya yang lazim di kawasan Timur Tengah, jauh sebelum lahirnya Yahudi, Kristen, apalagi Islam.
Baik Yahudi, Kristen maupun Islam, karena hadir di kawasan Timur Tengah, maka sudah sewajarnya kalau mereka kemudian mengadopsi tradisi berhijab di masyarakat yang dianggap bermanfaat dan baik dalam konteks geo-kultural Timur Tengah.
Para sarjana dan ilmuwan (seperti Fadwa El Guindi) memang mencatat bahwa tradisi berhijab di Timur Tengah (meskipun tentu saja tidak sama dengan hijab zaman now) sudah ada jauh sebelum Islam lahir. Berdasarkan bukti-bukti kesejarahan, mereka berarguman bahwa hijab zaman old sudah dipraktikkan sejak era Mosopotamia Kuno (sekitar 3,000an tahun SM).
Kelak di zaman Assyria kuno, hijab menjadi simbol kelas elit. Karena menjadi simbol kelas elit (keluarga kerajaan dan bangsawan), rezim Assyria melarang perempuan "kelas bawah" seperti petani, budak dan begenggek atau tlembuk untuk mengenakan hijab.
Kemudian ketika rezim "Persia Kuno" menaklukkan Assyria dan Babilonia, kalangan elit, bangsawan, dan orang kaya juga mengadopsi tradisi Mesopotamia kuno tentang hijab ini. Tetapi berbeda dengan rezim Assyria yang hanya memberlakukan hijab untuk kalangan elit, rezim Persia Kuno membolehkan "perempuan biasa" untuk mengenakan hijab sebagai simbol kesederhanaan.
Nah, ketika bangsa Muslim Arab menaklukkan Imperium Sasani, yang merupakan imperium Persia terakhir di abad ketujuh, mereka kemudian mengadopsi praktik berhijab ini dan "diboyong" atau diperkenalkan di kalangan masyarakat Arab.
Jadi jelaslah kalau melihat sejarah "evolusi hijab" ini, Bangsa Arab sebetulnya belakangan saja baru mengenal hijab ini. Jauh sebelum Muslim dan Bangsa Arab mempraktikkan hijab, umat agama dan suku-bangsa lain di Timur Tengah seperti Persia, Assyria, Akkadia, Chaldea, Nestoria, Zoroastrianisme, Yahudi, Kristen, termasuk suku-bangsa Kurdi yang merupakan mayoritas etnik pemeluk agama Yazidi, sudah terlebih dulu mempraktikkan hijab ini.
Sudah ya, buat saudara-saudaraku kaum Muslimah di Indonesia, khususnya Mpok Mimin, tidak usah main klaim lagi tentang hijab, tak perlu alay bin lebay soal hijab, tak perlu menganggap hijab sebagai pertanda orang yang sudah mendapat hidayah, tak perlu memandang perempuan berhijab sebagai perlambang orang yang sudah "hijrah".
Juga tak perlu emosi dan marah-marah kalau melihat non-Muslimah berhijab dan menganggap mereka telah "melecehkan" Islam. Santai dan rileks saja ya tidak usah ngotot dan ngamukan. Kalau kerjaanmu melotot-melotot, marah-marah dan ngamukan nanti bibirmu tambah ndower lo Min. Entar Bang Mamat tidak jatuh cintrong lagi sama dirimu kapok koen he he.
Jabal Dhahran, Arabia,
Oleh. Prof. Dr. Sumanto Al Qurtuby
Tulisan ini diambil dari:
Tidak ada komentar
Posting Komentar