Oleh. Dr. Phil. Reza A.A Wattimena, S.S., M. Hum Anak kecil itu tampak sakit kepala. Dahinya menekuk. Matanya tampak lelah. Ia sedang mengha...
Anak kecil itu tampak sakit kepala. Dahinya menekuk. Matanya tampak lelah. Ia sedang menghafal berbagai bentuk ajaran agama. Ya, agama yang dipilihkan orang tuanya kepadanya.
Di usia semuda itu, ia stress. Begitu banyak hal tak berguna yang harus dipelajari. Perubahan Menteri pendidikan tidak banyak memberikan dampak. Di Indonesia, terutama soal pendidikan agama, pola terbelakang dan menyiksa peserta didik sama sekali tak berubah.
Apakah agama soal hafalan buta? Apakah belajar agama harus menyiksa? Bukankah agama itu soal nilai-nilai kehidupan, sekaligus jalan untuk mencapai kedamaian di dalam hati, dan di dalam hidup bersama? Kita tampak lupa akan hal ini.
Mendengar kata "agama", orang Indonesia langsung terganga. Agama dikira suci. Segala sesuatu yang berbau agama langsung dianggap baik. Padahal, kenyataan bicara berbeda.
Agama adalah organisasi. Agama adalah institusi. Manusia yang membuatnya. Begitu banyak politik kekuasaan, korupsi, diskriminasi dan nepotisme muncul di dalamnya.
Kesalahan berpikir ini lalu disebarkan lewat pendidikan. Agama terjebak di dalam formalisme. Ia hanya mengajarkan kulit. Inti terdalam agama nyaris tak tersentuh.
Ini adalah kesalahan yang amat berbahaya. Agama lalu tidak lagi menjadi pencipta perdamaian, tetapi perpecahan dan konflik. Agama menjadi sumber kebodohan dan keterbelakangan. Ia justru menjadi musuh utama kemanusiaan.
Bahaya Pendidikan Agama
Ada tujuh hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, pendidikan agama menjadi berbahaya, ketika ia hanya mengajarkan hafalan mutlak. Tak ada pengertian dan pengembangan akal sehat. Tak ada sikap kritis.
Kedua, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan tanpa akal sehat. Logika berpikir menjadi cacat. Orang mudah dibodohi dan diprovokasi untuk menyebarkan kebencian. Inilah akar dari segala bentuk radikalisme agama di abad 21 ini.
Ketiga, agama juga menjadi ancaman, ketika ia mengembangkan kesombongan religius. Orang lalu percaya buta, tanpa dasar, bahwa agamanyalah yang paling benar. Tidak ada argumen. Tidak ada penjelasan. Hanya kepercayaan buta yang dibungkus kesombongan kosong.
Kempat, pendidikan agama itu berbahaya, ketika ia tidak mengenal kemanusiaan. Kemanusiaan, cinta dan perdamaian haruslah menjadi nilai tertinggi kehidupan. Agama harus mencerminkan ketiga nilai utama itu. Jika tidak, agama justru menjadi sumber kebencian, kemarahan dan perang.
Kelima, kesombongan religius, dan minimnya rasa kemanusiaan, juga akan membuat pendidikan agama menjadi berbahaya. Diskriminasi atas nama agama akan tercipta. Manusia dipisahkan atas dasar agama. Tinggal selangkah lagi, konflik berdarah akan menjadi nyata.
Keenam, pendidikan agama akan menjadi berbahaya, ketika ia digunakan untuk membenarkan kemalasan berpikir. Sikap kritis dianggap murtad. Daya analisis dianggap melawan kesucian. Agama pun justru menjadi alat untuk memperbodoh manusia.
Ketujuh, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan sebagai pembenaran untuk memecah belah. Agama digunakan sebagai dasar untuk menindas orang lain. Sikap diskriminatif lalu dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika ini yang terjadi, agama justru menjadi penghambat kemanjuan peradaban, dan penyebar penderitaan di dunia.
Pendidikan Agama
Pendidikan agama sekiranya bisa untuk memperhatikan ketiga hal berikut.
Pertama, agama adalah soal nilai kehidupan, sekaligus soal perubahan dari dalam diri ke arah kedamaian dan keterbukaan. Agama sama sekali tidak terkait dengan hafalan buta. Agama juga bukan soal ketaatan ataupun kepercayaan buta pada ajaran yang sudah tak sesuai dengan perubahan jaman.
Kedua, pendidikan agama harus mengembangkan akal sehat dan sikap kritis. Pertanyaan dan daya analisis harus berkembang sejalan dengan perkembangan hidup beragama seseorang. Rasa ingin tahu dipupuk dengan dorongan untuk mencari lebih dalam. Pendidikan agama harus terlibat di dalam pendidikan manusia yang seutuhnya.
Ketiga, pendidikan agama juga harus mendorong orang menjadi spiritual. Artinya, ia menjadi manusia yang melampaui batas-batas tradisi, agama, suku dan ras. Manusia spiritual adalah manusia semesta. Dengan pola pendidikan ini, semua konflik yang berpijak pada identitas sempit juga akan lenyap.
Pendidikan agama semacam ini adalah pendidikan agama yang membebaskan manusia dari kebodohan, sikap diskriminatif dan penderitaan. Anak kecil itu mungkin akan berbinar-binar, ketika waktunya belajar agama. Ia akan merasa bahagia, dan utuh sebagai manusia. Ia akan mencintai agamanya sama seperti ia mencintai kehidupan itu sendiri.
Tidak ada komentar
Posting Komentar