SUARA.NABIRE - Ditengah kebijakan penutupan akses transportasi darat, laut dan udara yang diberlakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire, ...
Kedatangan rombongan Jakarta dengan menggunakan atribut lengkap APD berwarna hijau tersebut kemudian menjadi isu yang semakin hangat dibicarakan hampir semua kalangan masyarakat Nabire, baik itu warga yang berada di kota Nabire, dan warga Nabire yang berada diluar kota Nabire hingga saat ini.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa salah satu orang yang ikut di dalam rombongan dari Jakarta tersebut adalah ibu Yufinia Mote yang merupakan Istri Bupati Nabire. Tentunya, kedatangan rombongan Jakarta ini menimbulkan kecemburuan bagi warga Nabire yang berada di luar daerah, mengingat mereka sedang sabar menunggu pembukaan akses transportasi, namun tiba-tiba saja ada serombongan orang yang bisa leluasa masuk ke Nabire.
Bahkan beberapa warga Nabire yang berada di luar Daerah merasa keberatan dan mempertanyakan kedatangan rombongan Ibu Yufinia karena rombongan tersebut bisa diperbolehkan masuk dengan tiba-tiba, tanpa ada penjelasan sebelumnya dari Pemerintah Daerah, apalagi pernyataan Tim Gugus Tugas Covid-19 Nabire.
Revo Ambrauw (47 thn), salah satu warga Nabire yang berada di kota Jakarta menyesalkan kedatangan rombongan Ibu Yufinia tersebut mengingat kedatangan mereka sesungguhnya melanggar kebijakan penutupan akses transportasi yang diberlakukan oleh Pemda Nabire.
“Ya, saya pribadi menyesalkan kedatangan rombongan ibu Yufinia karena tidak mematuhi kebijakan Pemda, sekalipun Ibu merupakan istri Bupati, tapi semuanya harus mematuhi peraturan”, demikian dikatakan Revo ketika dikonfirmasi awak media melalui WhatsApp.
Apa sebenarnya dasar Pemda Nabire dan Tim gugus tugas covid-19 di Nabire sehingga mereka-mereka bisa diperbolehkan masuk ke Nabire, padahal kebijakan penutupan akses masih diterapkan? Ada apa dengan semua ini? Seharusnya ada penjelasan resmi dari Tim gugus tugas di Nabire terkait kedatangan rombongan itu,” ujar Revo.
Berbeda dengan pendapat Erik (24 thn), Mahasiswa asal Nabire di Jayapura yang sementara ini harus bersabar menunda penelitiannya di kota Nabire karena terhalang kebijakan penutupan akses transportasi yang diberlakukan Pemda Nabire.
“Akibat kebijakan penutupan akses ini, saya harus menunggu 2 bulan untuk melaksanakan penelitian skripsi di Nabire, tapi kenapa rombongan dari Jakarta bisa masuk ke Nabire, sedangkan saya tidak bisa! Saya merasa tidak adil,” ujar Erik ketika dihubungi melalui telekonferens
Erik juga menambahkan bahwa seharusnya pemeriksaan mereka yang datang dari daerah merah seperti Jakarta itu lebih diperketat oleh Pemda dan Tim gugus tugas di Nabire.
“Jakarta merupakan daerah merah virus corona, lalu mengapa rombongan dari Jakarta tidak diberikan status ODP? Mereka itu datangnya dari daerah endemik, seharusnya dikarantina dulu. Dan tempat karantinanya juga harus adil. Kenapa mereka di hotel, sedangkan lainnya ditempat karantina lainnya. Pemda Nabire dan tim gugus tugas covid-19 harusnya adil,” demikian dikatakan Erik, Mahasiswa asal nabire yang mau melakukan penelitian skripsinya di Nabire dan sampai saat ini harus bersabar menunggu selama 2 bulan lamanya.
Pada tempat lainnya, Kamarudin (40 thn), salah satu warga Nabire yang sudah terjebak 4 bulan lamanya di Jayapura akibat kebijakan penutupan akses transportasi justru bertanya-tanya apakah kebijakan yang di buat Pemerintah Nabire bisa dilanggar begitu saja oleh orang-orang khusus? Mengapa tidak dipatuhi oleh semua kalangan? Sekalipun dia Istri orang nomor satu di Nabire.
"Ya kami ini kan bingung dengan kebijakan yang di buat pemerintah Nabire, apakah kebijakan itu hanya berlaku untuk kami masyarakat kecil saja? Dan tidak berlaku buat mereka yang merupakan orang terdekatnya orang nomor satu di Nabire ka? Apalagi istri Bupati?", demikian dipertanyakan Kamaridin (40 thn) salah satu warga Nabire yang sudah terjebak 4 bulan lamanya di Jayapura akibat kebijakan penutupan akses transportasi.
"Dimana keadilan buat kami masyarakat biasa?", kembali dipertanyakan Kamarudin yang rumahnya terletak di Jln.Yos Sudarso Oyehe, kota Nabire.
Kamarudin (40 thn) terjebak 4 bulan di Jayapura
Ditemui dikediamannya di jalan Auri kota Nabire, Pimpinan tertinggi Amoye Community, Bentot YS Yatipai, ST, menjelaskan bahwa jika melihat khusus kepada figur ibu Yufinia yang sedang menjadi sorotan, perlu diklarifikasi, karena disamping ibu sebagai Istri Bupati Nabire, tetapi ibu juga merupakan Pejabat dan mungkin saja masih masuk dalam satu kesatuan penanganan covid-19 di Nabire. Sehingga kehadiran ibu Yufinia memang dibutuhkan dalam membantu Pemerintah dalam penanganan.
“Yang perlu diperjelas adalah 38 orang itu, apakah mereka merupakan bagian dari tenaga medis, seperti dokter atau yang seperti saya dengar ada dokter relawan dan lainnya itu memang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk memperjelas. Karena banyak isu yang berkembang ada hal-hal yang memang sudah bertentangan dengan aturan. Jadi kehadiran 38 orang itu perlu memang diinformasikan kepada masyarakat” demikian ditegaskan Bentot.
Menurut Bentot, fenomena ini juga merupakan puncak akumulasi permasalahan terkait penanganan covid-19 selama ini, sebab proses saat Nabire menuju status tanggap, lalu pengadaan barang dan jasa oleh pihak ketiga yang dipercayakan Pemda untuk Alkes dan APD, jelas sekali sudah tidak masuk lagi dalam pekerjaan tanggap.
“Sudah lambat sekali kehadiran barang-barang tersebut ke Nabire sehingga barang tersebut sudah tidak membawa asas manfaat dalam keadaan kondisi tanggap mengingat yang dibutuhkan saat itu adalah alat Swab. Sebab alat Swab ini pada akhirnya sudah diberikan dari Pemerintah Provinsi Papua,” demikian penjelasan Bentot ketika ditemui pada hari Senin (15/06/2020). *Red
Ditemui dikediamannya di jalan Auri kota Nabire, Pimpinan tertinggi Amoye Community, Bentot YS Yatipai, ST, menjelaskan bahwa jika melihat khusus kepada figur ibu Yufinia yang sedang menjadi sorotan, perlu diklarifikasi, karena disamping ibu sebagai Istri Bupati Nabire, tetapi ibu juga merupakan Pejabat dan mungkin saja masih masuk dalam satu kesatuan penanganan covid-19 di Nabire. Sehingga kehadiran ibu Yufinia memang dibutuhkan dalam membantu Pemerintah dalam penanganan.
“Yang perlu diperjelas adalah 38 orang itu, apakah mereka merupakan bagian dari tenaga medis, seperti dokter atau yang seperti saya dengar ada dokter relawan dan lainnya itu memang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk memperjelas. Karena banyak isu yang berkembang ada hal-hal yang memang sudah bertentangan dengan aturan. Jadi kehadiran 38 orang itu perlu memang diinformasikan kepada masyarakat” demikian ditegaskan Bentot.
Menurut Bentot, fenomena ini juga merupakan puncak akumulasi permasalahan terkait penanganan covid-19 selama ini, sebab proses saat Nabire menuju status tanggap, lalu pengadaan barang dan jasa oleh pihak ketiga yang dipercayakan Pemda untuk Alkes dan APD, jelas sekali sudah tidak masuk lagi dalam pekerjaan tanggap.
“Sudah lambat sekali kehadiran barang-barang tersebut ke Nabire sehingga barang tersebut sudah tidak membawa asas manfaat dalam keadaan kondisi tanggap mengingat yang dibutuhkan saat itu adalah alat Swab. Sebab alat Swab ini pada akhirnya sudah diberikan dari Pemerintah Provinsi Papua,” demikian penjelasan Bentot ketika ditemui pada hari Senin (15/06/2020). *Red
Tidak ada komentar
Posting Komentar