Pengalaman empiris mengajarkan bahwa dana penanggulangan bencana alam, pandemi dan stimulus penyelematan krisis ekonomi selalu diwarnai peny...
Sebagai pengingat, dapat dilihat pada nasib dana rekonstruksi pasca tsunami Aceh/Nias yang sampai hari ini masih menyisahkan ketidakjelasan karena provinsi Aceh masih mempertanyakan sisa dana tsunami yang mencapai Rp 5 triliun karena tidak jelas pertanggungjawabannya.
KPK bahkan mengusut kasus korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias yang menurut pelapor, kerugian negaranya mencapai Rp 3,7 miliar. Praktik yang sama dilakukan pada bantuan tsunami Jawa Barat tahun 2009, dimana KPK menjerat Asep Hartiyoman dan Ade Kusmana karena menimbulkan kerugian negara sebanyak Rp 8,3 milyar.
KPK bahkan mengusut kasus korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias yang menurut pelapor, kerugian negaranya mencapai Rp 3,7 miliar. Praktik yang sama dilakukan pada bantuan tsunami Jawa Barat tahun 2009, dimana KPK menjerat Asep Hartiyoman dan Ade Kusmana karena menimbulkan kerugian negara sebanyak Rp 8,3 milyar.
Gempa Lombok menjerat anggota DPRD Kota Mataram yang menilap dana bencana. Kisah pilu juga menimpa korban gempa bumi likuifaksi di Palu yang kemudian menjerat pejabat Kementerian PUPR yang menilap proyek air minum sebanyak Rp 2,9 milyar. Penyelewengan juga terjadi pada dana pandemi flu burung yang melibatkan Freddy Lumban Tobing dan Siti Fadila Supari yang didakwa merugikan negara sebesar Rp 12,33 miliar, dalam pengadaan penanganan virus flu burung.
Stimulus keuangan penyelamatan ekonomi nasional juga menjadi bancakan pejabat dan pengusaha, sebagaimana dapat dilihat pada kasus BLBI yang berakhir dengan perampokan besar-besaran yang menurut audit BPK menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 138 triliun. Stimulus keuangan ini bahkan menyeret Gubernur/Dewan Gubernur Bank Indonesia termasuk pengusaha Sjamsul Nursalim yang telah ditetapkan tersangka secara in absentia dan berstatus buron.
Kisah pahit terulang kembali dalam penyelamatan Bank Century yang menurut BPK mengakibatkan kerugian negara Rp 6,742 triliun. Pengalaman di atas menunjukan bahwa pemerintah/DPR selalu gagal mencegah terjadinya penyelewengan dalam pengelolaan dana bantuan bencana alam dan ‘bencana ekonomi’. Dapat dipastikan, jika pengawasan dana COVID-19 tidak diperbaiki, pengalaman kelam di atas tidak mustahil akan terulang kembali karena memiliki potensi kebocoran dan kerawanan berikut. Dana jumbo miskin data.
Pengalaman mengajarkan ‘dimana ada uang disitu ada pemburu rente’. Dana COVID-19 yang berjumlah Rp 405 triliun yang dibagi dalam empat bidang, yakni: (i) kesehatan Rp 75 triliun, (ii) jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, (iii) insentif perpajakan dan KUR Rp 70 triliun, dan (iv) pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.
Mengingat keempat bidang tersebut membutuhkan kelengkapan data, maka dapat dipastikan akan ada ketidaktepatan sasaran pembelanjaan. Dari ke empat bidang tersebut yang paling rawan dimanipulasi adalah jaring pengaman sosial, insentif perpajakan, KUR dan program pemulihan ekonomi nasional, karena data masing-masing kementerian dan Pemda sangat berbeda. Jumlah orang miskin di Kementerian Sosial, berbeda jumlahnya dengan data di kementerian lain serta berbeda pula jumlahnya dengan data di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Ketidakjelasan data akan memudahkan pemburu rente mengkondisikan penerima insentif pajak, KUR dan program pemulihan ekonomi kepada ‘sahabat’. Takutnya, dana seperti ini akan lebih banyak dinikmati para pengusaha besar dibanding rakyat banyak karena mereka dapat ‘bernegosiasi’ dengan oknum pejabat korup.
Landasan hukum yang jelek
Berbeda dengan dana bantuan bencana alam, pandemi atau dana penyelamatan ekonomi sebelum-sebelumnya, PERPU No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Pendanaan Pandemi COVID-19, seakan-akan memberikan pelindungan kepada pejabat yang mengeluarkan kebijakan dan yang melakukan tindakan tertentu.
Pasal 27 mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung program COVID-19 bukan merupakan kerugian negara dan pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa segala tindakan dan keputusan pejabat yang berhubungan dengan PERPU ini dikategorikan bukan merupakan objek gugatan di PTUN. Ketentuan pasal 27 ini, seakan-akan memberikan “perlindungan hukum” kepada para pejabat, sehingga akan menimbulkan moral hazard yang sangat besar.
Untuk menjelaskan dilema yang akan dihadapi oleh aparat penegak hukum, dapat dilihat pada pengadaan Kimia Farma yang mengimpor alat rapid test merek Biozek yang dikatakan sebagai buatan Belanda padahal setelah diinvestigasi oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project ditemukan bahwa Biozek sebenarnya bukan buatan Belanda tapi buatan China. (Majalah TEMPO, Mei 2020).
Kimia Farma mungkin beritikad baik dan bertindak sesuai PERPU, tapi mungkin saja ada kerugian negara dalam pengadaan tersebut karena buatan China dan Belanda biasanya memiliki perbedaan harga. Pertanyaan selanjutnya apakah kelakuan yang seperti ini termasuk yang dilindungi atau tidak? Saya tidak akan memberikan jawaban atas pertanyaan itu, tapi pasti akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan.
Pelonggaran juga dikeluarkan oleh KPK yang mengeluarkan Surat Edaran tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakaat oleh Lembaga Pemerintah, dimana dinyatakan bahwa selama sumbangan/hibah tersebut ditujukan kepada lembaga, maka tidak dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.
Pertanyaan-nya, bagaimana jika seorang pejabat penerima tidak menyalurkan atau hanya menyalurkan sebagian? Bagaimana juga hukumnya jika sumbangan masyarakat tersebut disalurkan tapi diakui sebagai sumbangan pribadi bahkan dilengkapi dengan photo sang pejabat?
Kemudahan pengadaan barang jasa
Dalam rangka untuk mempermudah pengadaan barang dan jasa (PBJ) dikala COVID-19, LKPP juga mengeluarkan Surat Edaran No 3 tahun 2020 yang intinya memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk melakukan penunjukan langsung dan melakukan pekerjaan swakelola selama harganya wajar.
Keleluasaan seperti ini dapat membuka peluang kolusi dengan penyedia barang/jasa, mark up, dan kemungkinan kickback serta conflict of interest dalam PBJ. Oleh karena itu, jika tidak diawasi dengan ketat, sistem seperti ini dapat menimbulkan moral hazard dan penyelewengan yang masif
Maraknya Conflict of Interest
Maraknya Conflict of Interest
Potensi conflict of interest pada pemanfaatan dana COVID-19 terbuka lebar untuk ke empat bidang pendanaan karena mulai dari pengadaan alat kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif perpajakan dan KUR, serta pembiayaan pemulihan ekonomi nasional dapat diatur dengan gampang oleh para pengambil keputusan.
Contoh nyata dari conflict of interest bahkan telah diributkan oleh masyarakat karena melibatkan sejumlah staf khusus presiden dan sejumlah kepala daerah yang memanfaatkan bantuan COVID-19 sebagai bagian dari kampanye mereka.
Perlu diingat masih banyak pemburu rente yang sedang menyusun strategi pemanfaatan dana COVID-19 untuk kepentingan pribadi, khususnya yang masuk dalam komponen insentif perpajakan dan KUR, serta pembiayaan program pemulihan ekonomi. Semoga cerita BLBI dan Bank Century tidak terulang dalam pemanfaatan dana COVID-19 ini. Ingat, conflict of interest adalah ibu dan tangga menuju korupsi.
Pembiaran dan pengawasan lemah
Mengingat pengawas internal pemerintah sering melakukan pembiaran karena atasannya turut terlibat, maka BPKP dan BPK harus difungsikan secara maksimal dalam pengawasan pemanfaatannya, agar tidak gampang dipermainkan.
Pengawasan harus fokus pada kementerian yang terlibat langsung dalam penggelontoran dan pemanfaatan dana COVID yakni: Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementeriaan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Keungan itu sendiri.
Untuk meningkatkan kualitas pengawasan, sebaiknya KPK RI melalui Kedeputian Pencegahan dan Koordinator Wilayahnya bekerja sama dengan BPKP, BPK dan APIP dimasing-masing kementerian prioritas di atas untuk memberikan manual pengelolaan dan pengawasan dana COVID-19 yang jelas agar dapat diikuti oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Rekomendasi penyelamatan
Untuk mencegah penjarahan dana COVID-19 yang terstruktur, pemerintah pusat dan daerah harus mempersiapkan anti-corruption safeguards dana COVID-19 dengan serius. Safeguards anti-corruption tersebut harus memuat hal-hal berikut:
- Pemerintah harus menyiapkan petunjuk yang jelas tentang model penganggarannya agar sesuai dengan peruntukannya dan melarang tegas model penganggaran yang memiliki aroma conflict of interest.
- Dari segi pengadaan barang/jasa, walaupun diperbolehkan penunjukan langsung dan swa-kelola, para pejabat harus mengikuti Surat Edaran KPK No 8/2020 yang melarang dengan tegas persekongkolan, penyuapan, gratifikasi, conflict of interest, kecurangan, mal-administrasi, dan tidak boleh membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi.
- Dalam hal pemberian bantuan, harus mendahulukan masyarakat yang betul-betul miskin dan yang telah tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) karena telah dipadu-padankan dengan NIK di KTP. Setelah itu dapat disusul dengan ‘masyarakat miskin baru’ yang diakibatkan kehilangan pekerjaan akibat COVID-19.
- Pemerintah harus memiliki kebijakan jelas dan konsisten dari pusat sampai daerah.
- KPK, Polri dan kejaksaan tidak boleh melakukan pembiaran. Jika terjadi pelanggaran hukum dan mal-administrasi, harus segera diselidiki agar menimbulkan deterrent effect bagi para pelaku kejahatan. Akhirnya, mari kita berdoa semoga dana COVID19 terbebas dari setan korupsi yang gentayangan menyeret negeri ini ke dalam kubangan lumpur peradaban.
Oleh: Laode M Syarif
Direktur Eksekutif KEMITRAAN dan Dosen Fakultas Hukum UNHAS
Tidak ada komentar
Posting Komentar