Gordon Thomas (2009) pernah menegaskan bahwa, “Jika kelahiran Yesus menjadi awal mula tahun perhitungan sejarah bagi 1,5 miliar kaum Kris...
“Jika kelahiran Yesus menjadi awal mula tahun perhitungan sejarah bagi 1,5 miliar kaum Kristiani, dapat dikatakan tanpa rasa takut untuk di tentang bahwa pengadilan terhadap Yesus merupakan peristiwa yang paling penting dalam sejarah dunia ini. Tidak ada pengadilan lain, misalnya pengadilan terhadap Socrates, yang dihukum karena mengenalkan dewa-dewa aneh dan merusak pemuda Athena. Atau pengadilan terhadap Joan dari Arc, yang di bakar hidup-hidup dikarenakan keyakinan bahwa Tuhan mempercayakan misi khusus bagi bangsanya. Walaupun selalu di kenang karena heroisme terhukum, pengadilan mempunyai signifikansi religius yang melekat seperti pengadilan dan penyaliban Yesus”.Dari pemikiran Gordon di atas, bisa kita pahami secara subtantif bahwa kisah kelahiran, kematian, bahkan kebangkitan Kristus, adalah merupakan rangkaian kisah terhebat yang pernah ada dan belum pernah ada tandingannya dalam sejarah kemanusian manusia yang seutuhnya hingga saat ini.
Memang tidak dapat dipungkiri pula bahwa hingga detik ini banyak sekali bermunculan anggapan-anggapan miring yang berhubungan dengan kelahiran Yesus ini. Misalnya saja, kira-kira 100 tahun sesudah terbitnya kitab Lukas, muncul kitab Injil apokrif (tidak dimuat dalam Alkitab) yang kemudian dihubung-hubungkan dengan nama Yakobus, yang seakan-akan Yakobus adalah penulisnya. Ironisnya, dalam kitab tersebut diuraikan pemutarbalikan fakta sejarah tentang Yesus yang tidak penting (Boland & Naipospos, 2011:45). Bahkan hingga saat ini, polemik demi polemik selalu muncul untuk memperkarakan keberadaan sang Juruselamat, Yesus Kristus.
Lalu, siapakah Yesus? Apa yang telah diperbuat-Nya?
Pastinya, Alkitab dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa Yesus adalah gambaran kesempurnaan manusia dalam segala hal. Kepribadian dan tindakan-Nya luar biasa seimbang. Dalam ciri dan karakteristik kemanusiaan-Nya, Yesus memiliki ‘perbandingan karakter’ (balance) yang luar biasa. Tidak terdapat suatu karakter yang sangat kuat dan menonjol, tetapi juga tidak satu pun kelemahan yang bisa di lihat dari diri-Nya. Tidak terdapat sifat kekurangan pada-Nya. Uniknya lagi, dalam kehidupan selama di dunia ini, Yesus pun tidak pernah meminta maaf atas apapun yang Ia katakan dan lakukan, sebab semuanya yang diperbuat adalah benar adanya (Towns Elmer, 2011).
Kelahiran Yesus
Busthan Abdy (2016:11) menegaskan bahwa, Yesus Kristus lahir ke dunia ini tanpa persiapan yang penuh kemewahan. Tanpa aksesoris yang mahal, tanpa kosmetik yang indah dan menggiurkan, serta tiada sambutan meriah yang penuh dengan decak kagum. Bahkan lebih dari itu, awalnya tak seorang pun yang tahu tentang kelahiran-Nya. Ibarat kelahiran anak manusia yang terlupakan. Semua seakan diam, semua menjadi sunyi dalam kesenyapan, bahkan semuanya membisu seribu bahasa. Tetapi hanya dua yang berjaga terus.
Injil Lukas menulis..
"Ketika mereka tiba disitu tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan dia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan di baringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat baginya di dalam penginapan". (Lukas 2:6-7).Ya, inilah sebuah fakta yang berbanding terbalik, dan begitu kotras dengan kebesaran Anak Allah, serta kemuliaan-Nya yang kelak nantinya akan datang sebagai Raja atas segala raja, dan Tuhan di atas segala tuhan.
Kenyataannya, Yesus datang bukan sebagai manusia super, bukan pula sebagai manusia hero, juga bukan sebagai manusia yang paling kuat dan perkasa diantara semua yang terkuat dan perkasa, bahkan diantara seluruh kekuatan yang ada dalam kenafanaan bumi ini. Tetapi Yesus datang sebagai yang terlemah diantara yang lemah, sebagai yang tersakiti diantara yang sakit, sebagai yang hina diantara mereka yang menjadi hina, bahkan sebagai yang selalu tertindas diantara mereka-mereka yang mengalami penindasan, serta diantara mereka yang juga tersisih dan yang terlupakan oleh dunia yang penuh dengan dosa dan penindasan.
Untuk konteks ‘tempat’ kelahiran Kristus, diperkirakan terjadi dalam dua versi pada saat itu. Pertama, sebagian orang menganggap kelahiran itu terjadi di salah satu bangunan luar dari rumah penginapan yang di pakai untuk tempat ternak. Kedua, ada pula yang berpendapat bahwa kelahiran itu terjadi di dalam gua dekat tempat itu, yang juga di pergunakan sebagai kandang binatang (Walvoord John 1969).
Terlepas dari semua asumsi di atas, Alkitab dalam Lukas pasal 2, ayat 6 hingga 7, seperti tertulis di awal, mewakili fakta yang secara jelas menegaskan bahwa bayi Yesus ‘dibaringkan’ dalam palungan tempat makanan ternak yang kotor, dan yang tak pernah disiapkan bahkan dibersihkan terlebih dahulu oleh siapapun, termasuk oleh tangan Maria ibu kandung Yesus sendiri. Sebuah kisah kelahiran anak manusia yang sungguh menghayat kalbu.
Bahkan kisah ini menjadi kisah kelahiran seorang bayi yang sungguh memilukan, dan yang pernah tercatat dalam sepanjang sejarah peradaban manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Namun seketika itu suasana menjadi berubah. Ketika pertama kalinya para Malaikat Tuhan memberitakan berita kelahiran Kristus ini sebagai wujud ‘pembebasan’. Mulanya, berita sukacita ini diberitakan secara langsung kepada kaum marjinal yang sama sekali tidak diperhitungkan masyarakat pada saat itu.
Kabar istimewa itu kemudian diberitakan dengan apa adanya, dan sebagaimana adanya, bahkan dalam nuansa kesederhanaan kaum dekil yang hidup dalam kesusahan, yaitu sekelompok kawanan gembala domba di kota kecil, Bethlehem (Lukas 2:4).
Pesan “Damai”
Demikianlah akhirnya sebuah pesan ‘damai’ dalam pewartaan akan pembebasan pertama di bumi mulai dikumandangkan dengan penuh sukacita oleh Bala Surga kepada kaum gembala yang sedang menjaga kawanan domba di bawah hamparan langit malam nan senyap, serta ditemani indahnya cakrawala yang membentang, bersama semilirnya hembusan angin yang semakin membawa suasana ‘teduh nan damai’ pada malam itu.
Dengan mewakili kewibawaan dan kemuliaan bagi Allah di tempat yang Maha Tinggi, Malaikat pembawa pesan damai berucap dengan pasti...“Hari ini telah lahir bagimu Juru selamat yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Lukas 2:11).
Untuk mengungkapkan misteri tentang Yesus Kristus, maka dalam ayat tersebut penulis kitab Lukas terlebih dahulu memunculkan tiga istilah sekaligus ke permukaan. Ketiga istilah ini sama-sama digunakan oleh orang Yahudi maupun orang Yunani, seperti terdapat dalam Septuaginta. Kata “soter” adalah “Juru Selamat” yang menjelaskan bahwa akan terjadi ‘aktivitas’ Allah di situ. Yesus adalah ‘Mesias’ yang diurapi Allah. Sebab itu Juruselamat sejati adalah ‘Mesias’ yang berasal dari agama Yahudi.
Istilah “Mesias” yang disebutkan, kemudian memenuhi janji Allah, dengan membebaskan umat-Nya dari penindasan dan laknat dosa. Sehingga istilah ‘Mesias’ dalam tata bahasa Yahudi, berdiri diantara dua sebutan Yunani, yaitu “Juruselamat” dan “Tuhan”.
Sedangkan kata “Kyros” yang diartikan sebagai “Tuhan”, adalah istilah dari orang Yunani yang sering digunakan untuk sebutan Kaisar. Sebagaimana juga dalam Septuaginta, Allah adalah Tuhan yang sebenarnya. Sedangkan Yesus Kristus mencakup keduanya—berasal dari Allah, sekaligus Putra Allah—tapi di saat yang sama—Yesus adalah juga sosok Tuhan pembawa kedamaian dalam wujud keselamatan bagi seluruh dunia secara permanen—jika dibandingkan dengan kaisar manapun—Yesus lebih tinggi dalam kemuliaan-Nya (Grun Anselm, 2004; dalam Busthan Abdy 2016:14).
Dalam wujud kesederhanaan-Nya, Yesus Kristus turun ke bumi—menghadirkan ‘Damai Ilahi’ untuk mereka yang terluka, terdindas, tersisih, bahkan yang terlupakan. Agar mereka dapat mendapatkan kelepasan dan keselamatan kekal (tak berujung)—seperti dilukiskan kitab Efesus 2:17-18: “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa”.
Secara lebih artistik lagi, penulis kitab Lukas yang dijuluki sebagai ‘teolog pembebasan’ dan ‘penginjil kaum miskin’ ini kemudian merangkai kisah kedatangan Kristus ke dalam tiga bagian yang sekaligus dijadikan satu kisah berbentuk ‘teologi narasi’ dalam pranata kalimat yang menarik, yaitu: (1) Sensus; (2) Kelahiran; serta (3) Pengunguman kelahiran Kristus kepada kaum gembala.
Dalam hal ini, Lukas tidak langsung menyampaikan fakta sejarah. Tetapi lebih dalam lagi, ia membawa faktual penalaran tentang kisah Yesus Kristus ini ke dalam wilayah penafsiran—menafsir. Dimana nampak jelas bahwa kelahiran Yesus ditekankan pada masa kekaisaran Agustus, sebagai maksud untuk menunjukkan secara ‘mutlak’ bahwa Yesus adalah “Raja Damai Sejati”.
Dalam hal lainnya, kitab Lukas juga lebih mengkritisi ideologi hukum imperialis yang sejalan pula dengan kritiknya terhadap teologi zelot yang pada saat itu menentang sensus. Dimana hal ini menggambarkan tentang keadaan yang tidak berubah dengan kekerasan dan kekuatan dari luar, tetapi justru datangnya dari dalam. Sehingga kedamaian pun digambarkan muncul dalam sejarah bersamaan dengan figur Yesus yang selalu memiliki efek historis—politis (Grun Anselm, 2004).
Dalam konteks peristiwa “sensus” yang dimunculkan oleh penulis Injil Lukas—sebagai latar belakang dari kelahiran Yesus Kristus di Betlehem—merupakan sebuah peristiwa yang nantinya akan menentukan arah peradaban manusia setelah itu. Kelahiran Kristus merupakan sebuah peristiwa yang dasyat dan sungguh spektakuler, sebab hal-hal seperti: tata tertib warga dan sistem regulasi, juga dasar ilmu politik, serta kependudukan dan kewarganegaraan, tidak dapat dipahami secara utuh, tanpa peristiwa kelahiran Yesus dan sensus yang terjadi masa itu.
Dalam Injil Lukas 2:2, jelas tercatat bahwa peristiwa sensuslah yang kemudian membawa Yusuf dan Maria menuju ke Betlehem, yaitu ketika Kirenius menjadi wali negeri di Siria yang bertepatan dengan pemerintahan Herodes Agung. Sebagaimana hal ini telah banyak menimbulkan debat berkepanjangan di kalangan para Teolog, sebab terjadi kesenjangan dimana Herodes meninggal pada tahun 4 SM, dan Kirenius mulai memerintah tahun 6 M.
Kebekuan perdebatan di kalangan para teolog kemudian menjadi mencair ketika Jerry Vardaman menemukan sebuah koin dengan nama Kirenius di atasnya. Bukti ini menunjuk pada sosok Kirenius sebagai seorang prokonsul Siria dan Kilikia yang ketika itu diperkirakan memerintah dari tahun 11 SM sampai dengan kematian Herodes.
Dengan demikian, maka ada dua nama Kirenius pada saat itu. Kirenius yang pertama memerintah hingga 4 SM, dan satu lagi memerintah setelah 6 M. Kesamaan nama ini merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah saja dalam zaman Romawi pada waktu itu. Bukti ini menunjukkan peristiwa “sensus” benar-benar terjadi dan menjadi alasan kuat untuk kembali mengukuhkan fakta kebenaran tentang kelahiran Yesus Kristus di Betlehem.
Lebih lanjut lagi, dalam konteks ‘sebelum’ kedatangan-Nya, penulis kitab Yesaya juga tidak tanggung-tanggung untuk lebih dulu mengukir “nubuatan indah” tentang hari kelahiran Kristus melalui rangkaian kalimat yang indah dan penuh makna. Nubuatan ini menggunakan bahasa dalam dua majas sekaligus (Metafora dan Metonimia).
Kitab Yesaya menulis, “Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya” (Yesaya 11:6). Demikianlah dinyatakan bahwa Yesus Kristus telah datang membawa damai di bumi, serta mengubah orang percaya dari alam realitasnya, yaitu sebagai hasil akhir dari penebusan yang dilakukan-Nya.
Kristus datang membawa sebuah situasi dan keadaan dalam kerajaan yang penuh “keharmonisan” dan “damai”. Karena didasarkan pada ajaran yang benar. Gambaran tentang binatang-binatang perusak yang ganas, dan yang kemudian hidup berdampingan secara damai dengan binatang-binatang kecil yang lemah, adalah suatu tanda telah berlalunya semua permusuhan dan ketakutan yang lazim terjadi diantara manusia dalam sifat dan tipenya yang selalu berbeda-beda. Sungguh hal ini menegaskan sebuah fakta ‘pembebasan’ dan fenomena yang begitu mulia, dalam menghadirkan visi dan misi pembebasan melalui kelahiran Kristus di kota Daud.
Bahkan berita kedatangan-Nya juga diberitakan melalui para gembala yang merupakan komunitas yang terisisih, tertindas, dan terlupakan pada masa itu. Sehingga hal ini semakin memperkokoh derajad tentang ‘Kemuliaan’ yang selalu untuk selamanya, menjadi bersinar dalam diri-Nya. Sebagaimana tertulis..“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." (Lukas 2:14).
Kesengsaraan Yesus
Kisah kelahiran Yesus Kristus semakin bernilai istimewa, ketika kelahiran-Nya harus dibayang-bayangi oleh kekuasaan sang agresor ambisius, Kaisar Agustus yang sangat terkenal dengan kebijakan politik ’Pax Romana’ pada saat itu (Lukas 2:1).
Kebijakan Pax Romana ini dibangun dengan sangat kokoh di atas pondasi binal sebuah ambisi dan kejahatan politik, serta oligarki untuk kepentingan sendiri dan kelompok tertentu.
Seperti diketahui bahwa saat itu Kaisar Agustus adalah satu-satunya pemimpin yang paling ditakuti, bahkan sangat dihormati oleh semua kalangan, karena ia pernah melakukan ekspansi maha dasyat yang di dukung oleh agresi militernya ke timur, bahkan juga ke bagian barat, yang membuat wilayah kekuasaannya lebih luas dari daerah Amerika Serikat, yakni seluas 3.340.000 mil persegi.
Dan karena penaklukan yang dilakukannya itu, maka sejarah mencatat dengan pasti bahwa selama 200 tahun lamanya tidak pernah terjadi peperangan dimana-mana. Akhirnya, sejarah pun tidak segan-segan untuk mencetuskan suatu rekor secara pasti dan meyakinkan, bahwa melalui kekuasaan Kaisar Agustus ini, pernah terjadi fakta nyata, tentang sebuah kemakmuran, ketertiban, dan kestabilan nasional yang begitu lama dan belum ada tandingannya hingga sampai sekarang ini. (Will Durant, The Story Of Civilization, 1.232 “the longest period of prosperity ever known to mankind … the supreme achievement in the history of statesmanship”); (dalam Karman Yonky, 2011).
Tidak sampai di situ saja, Alkitab juga mencatat bahwa damai dan kebebasan untuk pertama kalinya di ‘rusak’ oleh politik teror yang terbungkus rapi dalam ‘titah’ pembunuhan berencana, yaitu perintah untuk segera melakukan pembunuhan tanpa memperhitungkan nilai-nilai kemanusian.
Perintah pembunuhan berencana ini dikeluarkan oleh Herodes Agung yang dengan lantangnya berkumandang bahwa “semua anak laki-laki dibawah usia dua tahun, yang berada di daerah Bethlehem, harus di bunuh!”.
Ya, Herodes memang diktator ulung pada masanya. Sosok ini selalu siap untuk melakukan apa saja demi mempertahankan status quo. Apapun alasannya, kekuasaan sang Herodes harus dipertahankan hingga ke titik darah penghabisan. Hal ini terbukti ketika di dengar oleh Herodes sendiri, tentang bayi Yesus yang lahir pada waktu itu, maka dengan amarah yang menggebu-gebu—tidak lagi memperdulikan batas-batas kemanusiaan dan demi meraih ambisi politiknya yang kotor—Herodes pun mengeluarkan titah agar semua anak laki-laki—tanpa terkecuali—yang masih berusia di bawah usia dua tahun—harus segera dimusnahkan saat itu juga dari muka bumi.
Lebih jauh lagi diketahui bahwa, kehadiran Kristus ke dalam dunia ini, juga diawali dengan ‘penderitaan’, bahkan ‘kesengsaraan’ dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, seperti yang tercantum dalam Credo umat Kristiani. Di mana pada sekitar tahun 26-36 M, Pontius Pilatus yang juga seorang pragmatis dan plin-plan, menjabat sebagai Gubernur Yudea, Samaria dan Idumea, yang memang masih merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Kemudian sejarah mencatat bahwa, penguasa Pilatus inilah yang pada akhirnya ‘melegalisir’ eksekusi penyaliban terhadap Kristus.
Pengadilan Terhadap Yesus
Pengadilan terhadap Yesus, murni “cacat hukum”. Sebagaimana penulis Injil Lukas menegaskan bahwa, ”Dalam pengadilan-Nya, Yesus dinyatakan sebagai orang benar“ (Lukas 23:47). Bahkan lebih dari itu, sengsara Yesus Kristus dalam konteks pemerintahan Pontius Pilatus, tidak apolitis karena sang Pilatus menjadi apatis.
Dalam kerangka hukum Roma yang mewakili hukum paling modern dan aturan terbaik pada saat itu, Yesus justru terbukti tidak bersalah. Yesus tidak pernah melanggar pasal-pasal serta ayat-ayat dalam hukum tertulis maupun yang tidak tertulis pada saat itu. Bahkan Yesus bebas dari pelanggaran aturan-aturan apapun yang mengikat, yang di berlakukan dan harus dijalankan pada saat itu.
Namun, saat itu kerumunan masa yang dipropokasi oleh Sanhendrin—pemuka agama—akhirnya melakukan tekanan politik agar Pilatus segera menghukum Yesus. Padahal sejak awalnya, sekelompok masa yang tanpa karakter ini, pernah mengeluk-elukan Yesus. Tetapi akhirnya justru berbalik arah dengan sangat beringasnya menuntut untuk Yesus harus segera disalibkan.
Akhirnya lembaga Agama tampil dengan segala bentuk topeng-topeng kemunafikannya. Bahkan para ahli-ahli agama dengan serta-mertanya ‘melacurkan’ kebenaran. Pemerintahan pun menjadi takluk dibawah arogansi sebuah tata ke-agama-an yang muncul akibat ‘kesombongan rohani’ dari para pemimpin agamanya—kaum rohaniawan yang saat itu mulai semakin beringas dan liar—layaknya seekor binatang karnivora yang siap memakan apa saja yang bisa di makan.
Walaupun pada saat itu sang Pilatus mengaku di depan publik, dengan berkata “Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya”, namun akhirnya sang Pilatus pun menegaskan otoritasnya dengan sebuah perkataan yang lancang:..“Tidakkah Engkau tahu, aku berkuasa untuk membebaskan Engkau?”. Akhirnya, palu keadilan di tangan seorang Pilatus bak sebuah ‘otoritarianisme’ dari sebuah negara leviatan dalam sepenggal ungkapan yang pernah diucapkan oleh seorang Thomas Hobes (1588-1679); (dalam Karman Yonky, 2011:29-30).
Demikianlah sang Pilatus yang akhirnya lebih memilih suara rakyat yang tidak mewakili suara Tuhan. Dan sebenarnya inilah salah satu contoh dari gambaran penindasan yang dilakukan oleh seorang penguasa kepada warganya. Hal inilah yang kemudian menjadi isu yang berkembang luas dewasa ini, dimana banyak kalangan mengklaim bahwa yang bertanggung jawab terhadap kematian Yesus di kayu salib adalah sistem Romawi—khususnya prokurator Yudea pada saat itu, Pontius Pilatus.
Tentu saja hal ini didasarkan bahwa Pilatus pada saat itu yang ditunjuk oleh Kaisar Romawi, dan ia pula yang memilih Yosef Kayafas menjadi Imam Agung, sekaligus membuatnya mengabdi untuk kepentingan sosial politik kekaisaran Romawi. Sehingga pada saat itu hukum-hukum keras yang diterapkan oleh Romawi memunculkan keresahan di seluruh Yudea, dan pada akhirnya menumbuhkan benih-benih revolusi.
Seorang ilmuan asal Yahudi, bernama Ellis Rivkin, yang juga merupakan Profesor dalam bidang sejarah Yahudi di Hebrew Union College Cincinnati, pernah menegaskan bahwa, Pilatus dan Kayafas, mereka sama-sama dimotivasi oleh dua kepentingan yang sama, yaitu mempertahankan kekuatan imperialisme dalam menghadapi semua bentuk perlawanan.
Dengan demikian maka terjamin pula apa yang di sebut dengan “kelanggengan” jabatan Imam Agung dan “kelancaran” pengumpulan upeti bagi Roma pada saat itu. Jika pemerintah Roma senang, maka jabatan Pontius Pilatus akan semakin diperpanjang. Dan semua yang berkaitan dengan kisah Yesus dan kematian-Nya akan selalu bersumber dari aliansi ini (Thomas Gordon, 2009).
Dalam konteks pengadilan dan peradilan, saat itu Yesus harus menghadapi dua macam pengadilan dan persidangan sekaligus. Pertama, adalah pengadilan Mahkamah Agama yang di pimpin langsung oleh Imam besar Kayafas. Kedua, adalah pengadilan Negeri yaitu di hadapan Gubernur Pontius Pilatus.
Dalam setiap pengadilan yang berlangsung itu, Yesus juga harus menjalani tiga kali pemeriksaan yang cukup ketat (Stalker James, 2008:18-27), yaitu sebagai berikut.
Pertama, pemeriksaan berlangsung di Mahkamah Agama. Di situ Yesus di perhadapkan kepada Imam besar Hanas yang pada saat itu berusia 70 tahun, dan pernah menjadi Imam besar selama 20 tahun, serta dia pula yang memiliki andil besar dalam kasus suap yang berupa penjualan dan penukaran Yesus kepada Yudas sang munafik, dengan dana suap sebesar 30 keping perak.
Kedua, pemerikasaan dilanjutkan kepada Yosef Kayafas sang Imam Agung penghuni dan penguasa bait Allah, yang konon katanya di dalam bait Allah itu terdapat ‘Sanctuary’, yaitu tempat yang sangat suci dan paling di kuduskan oleh agama Yahudi. Kayafas juga adalah menantu Hanas sendiri. Dalam konteks tradisi keras bangsa Yahudi, Kayafas adalah Imam Agung bangsa Yahudi yang pernah mengeluarkan peraturan hukuman mati terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan penghujatan dan perzinahan dengan cara melemparinya dengan batu hingga mati.
Ketiga, dihadapan para Sanhedrin yang juga merupakan sekumpulan para rohaniawan, serta pemuka agama yang saat itu bergabung dalam kelembagaan M.A (Mahkamah Agama). Ironisnya, walaupun mereka menyandang pekerjaannya sebagai pemuka agama, tokoh masyarakat yang sepatutnya di gugu, namun perbuatan mereka itu ibarat serigala berbulu domba.
Dimana kedok mereka semakin terlihat jelas ketika sebuah fakta kebenaran di lacurkan. Dengan manufer-manufer liar, mereka pun mengahasut masa yang berjumlah sekitar 10.000 orang, untuk meminta kebebasan bagi seorang penjahat kelas wahid, yaitu Barabas yang adalah pembunuh, perampok dan pemimpin gerakan bawah tanah yang banyak sekali menumpahkan darah akibat kejahatannya di Yerusalem.
Dalam ruang sidang yang di pimpin oleh tua-tua bangsa Yahudi dan para imam-imam kepala serta ahli-ahli Taurat di Mahkamah Agama, pertanyaan dari para “Sanhedrin” kemudian dilontarkan kepada Yesus, .."Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami.", dijawab oleh Yesus..."Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya; dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab. Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa”.
Mendengar jawaban Yesus itu, para Sanhedrin berkata lagi, "Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?". Untuk kesekian kalinya Yesus menjawab mereka lagi ..."Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.". Sekali lagi mereka kemudian tersentak, dan berucap: "Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita ini telah mendengarnya dari mulut-Nya sendiri" (Lukas 22:66-71)
Akhirnya semua Imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi merumuskan keputusan untuk membunuh Yesus (Matius 27:1). Sebuah keputusan hukum yang berskala ‘banalitas’ dalam bentuk kejahatan terstruktur, di mana terminologinya pernah diperkenalkan oleh Hannah Arendt sebagai sebuah realitas kekejaman—yang kemudian di adopsi pula oleh rezim totaliter Hitler—seperti yang pernah terjadi pula dalam kisah tentang persidangan Mayor Jendral Adolf Eichman yang dilakukan di kota Yerusalem—yang atas tuduhannya melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan—walaupun hal yang sebenarnya, menurut Eichman, ia tidak melakukannya. Dalam konteks itu, menurut reportasi Arendt—memang Eichman menjalani hukumannya tanpa rasa bersalah mengenai apa yang telah dikerjakannya.
Demikian halnya dengan keputusan sidang Mahkamah Agama yang dilakukan terhadap Yesus. Di mana saat itu, Kristus dituduh melakukan pelanggaran agama karena mengaku diri sebagai "Anak Allah"—sebagaimana Imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mengganggap bahwa Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (padahal memang Yesus sendiri Allah). Tetapi hal ini lebih merupakan sebuah penghujatan bagi Mahkamah Agama Yahudi, sehingga keputusan berakhir pada hukuman mati terhadap Yesus.
Inilah sebuah keputusan sidang yang paling melanggar sistem hukum sepanjang sejarah peradaban dunia. Sebab fakta jelas sekali, bahwa di bawah pemerintahan Romawi, pengadilan Yahudi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati dalam bentuk apapun juga. Karenanya, mereka kemudian mencari dalil-dalil untuk melimpahkan kasus ini kepada pengadilan Romawi, agar supaya hukuman mati segera dijalankan kepada Yesus.
Dalam konteks Herodes, yang pada saat itu juga ikut memeriksa Yesus—maka sebelumnya perlu diperjelas untuk diketahui bahwa Herodes yang dimaksudkan adalah Herodes Antipas yang merupakan putra kandung Herodes Agung, yang sebelumnya pernah memerintahkan untuk membunuh bayi Yesus ketika lahir. Diketahui pula bahwa Herodes Antipas adalah anak dari perkawinan Herodes Agung dengan istri ke-limanya, yang merupakan seorang Samaria bernama Malthase. Herodes Antipas saat itu memposisikan dirinya sebagai wakil pemerintah Roma di daerah Galilea dan Perea. Mulanya dia dikenal khalayak sebagai seorang yang cakap. Dimana awal pemerintahannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang baik. Namun ketika dia memutuskan untuk menikahi Herodias yang merupakan istri saudara kandungnya sendiri yaitu Filipus, maka keadaan pun menjadi berubah terbalik.
Watak Herodias lebih kuat daripada Herodes. Bahkan seumur hidupnya, ia mendampingi suaminya dengan berperan layaknya roh jahat. Hal ini tentu saja terbukti ketika Herodias melakukan manufer politik melalui putri kandungnya sendiri yaitu Salome, untuk menjerat Herodes agar memenggal kepala Yohanes Pembabtis. Sehinggga akhirnya, Herodes antipas menjadi agresor paling ditakuti—seperti mendiang ayahnya—di seluruh daerah dan wilayah kekuasaannya.
Namun sejak kejadian pemenggalan kepala dari Yohanes Pembabtis itu, pikiran Herodes menjadi terganggu oleh hantu penyesalan, sehingga membuatnya menjadi seperti orang idiot dan pendiriannya pun semakin terombang ambing tidak jelas.
Ketika Yesus di periksa di hadapan Herodes Antipas, Yesus justru di samakan seperti seorang penyihir. Mukjizat demi mukjizat yang pernah dilakukan Yesus, justru dianggap Herodes hanya sebatas akrobat sihir saja, tidak lebih dari itu. Bahkan saat itu Herodes berharap Yesus bisa menjadi tukang sihir yang handal untuk mempertunjukkan keahliannya di hadapan Herodes dan antek-anteknya. Sebab pada dasarnya, sudah sekian lama Herodes ingin melihat Yesus yang sering di dengarnya banyak melakukan Mukjizat-mukjizat (bagi Herodes adalah akrobat sihir). Sehingga ia mengharapkan suatu hari dapat melihat langsung bagaimana Yesus melakukan suatu mukjizat yang pernah di dengarnya itu.
Dapat dikatakan bahwa pengadilan yang dilakukan Herodes terhadap Yesus, adalah sidang pengadilan yang paling terkonyol dan tertolol yang pernah ada dalam sejarah perkembangan sidang pengadilan di muka bumi ini. Seluruh prosedur pemeriksaan saat itu sebenarnya tidak ada artinya sama sekali. Herodes juga mengajukan pertanyaan yang tidak pernah menyinggung inti masalah, pelanggaran atau perkara apa yang telah dilakukan Yesus terkait dengan penangkapan-Nya. Tetapi saat itu, Yesus hanya diam dan tidak memberikan jawaban apapun. Melihat itu, Imam-imam kepala dan Ahli-ahli Taurat menjadi kebakaran jenggot, sehingga mereka dengan beringasnya maju ke depan dan melontarkan tuduhan-tuduhan yang berat terhadap Yesus. Maka, mulailah Herodes dan pasukannya melakukan penistaan dan mengolok-olok Yesus.
Akhirnya, karena bingung dan memang tidak mendapat kesalahan apapun yang diperbuat Yesus, maka Herodes langsung mengenakan jubah kebesaran kepada Yesus, lalu mengirim-Nya kembali kepada Pilatus. Kemudian diberitakan selanjutnya, bahwa pada hari itu juga, bersahabatlah Herodes dan Pilatus—sebelum itu mereka bermusuhan.(Lukas 23:8-12).
Untuk terakhir kalinya, Yesus kembali dibawa ke hadapan Pontius Pilatus. Saat itu sang Gubernur pun berucap.."Kamu telah membawa orang ini kepadaku sebagai seorang yang menyesatkan rakyat. Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, sebab ia mengirimkan Dia kembali kepada kami. Sesungguhnya tidak ada suatu apapun yang dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati.Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya." (Lukas 23:13-16).
Sudah menjadi kebiasaan bagi wali negeri saat itu adalah membebaskan satu orang hukuman pada setiap hari raya atas pilihan banyak orang (Matius 27:15; Markus 15:6; Lukas 23:17; Yohanes 18:39). Karena melihat begitu banyak masa pada saat itu, maka Pilatus berkata: .."Pada kamu ada kebiasaan, bahwa pada Paskah aku membebaskan seorang bagimu. Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja orang Yahudi bagimu? Siapa yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu, Yesus Barabas atau Yesus, yang disebut Kristus?" (Matius 27:17; Markus 15:10).
Walaupun saat itu Pilatus sudah mengetahui alasan mereka menyerahkan Yesus—yaitu karena muncul perasaan benci (Matius 27:18; Markus 27:16) —lebih dari itu, sebenarnya isteri Pilatus sendiri, yaitu Claudia, sudah terlebih dahulu memberikan sebuah ‘warning’ dengan mengirimkan pesan kepadanya.."Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam." (Matius 27:19) —tetapi yang terjadi saat itu ibarat dua pillihan, ‘madu dan racun’, Yesus sang pembebas atau Barabas sang penyamun? Mau pilih yang mana?
Ya, Pilatus terperangkap dalam dua pilihan tersebut, ketika Imam-Imam kepala menghasut orang banyak untuk meminta agar Barabas harus dibebaskan bagi mereka pada hari raya. Mereka berteriak bersama-sama,.."Enyahkanlah Dia, lepaskanlah Barabas bagi kami!", Lebih dari itu, mereka berteriak pula.."Jangan Dia, melainkan Barabas!". Melihat situasi yang akan mengancam posisinya sebagai wali negeri, maka sang Gubernur Pilatus menjawab dan berkata kepada mereka: "Siapa di antara kedua orang itu yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu?, mereka lalu menjawab .. "Barabas" (Matius 27:20-21; Markus 15:11; Lukas 23:18-19; Yohanes 18:40).
Sekali lagi Pilatus berbicara dengan suara keras kepada mereka—karena ia ingin melepaskan Yesus, .. "Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Yesus, yang disebut Kristus?" (Matius 27:22; Markus 15:12; Lukas 23:20). Serentak mereka pun berteriak membalasnya..: "Ia harus disalibkan! Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia!" (Matius 27:22; Markus 15:13; Lukas 23:21).
Maka berkatalah Pilatus untuk ketiga kalinya kepada mereka: .. "Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya." (Matius 27:23; Markus 15:14; Lukas 23:22).
Akhirnya, Pilatus mengambil Yesus dan menyuruh prajurit Romawi untuk mencambuk Dia. Lalu, prajurit-prajurit menganyam sebuah mahkota duri dan menaruh di atas kepala-Nya. Mereka pun memakaikan Dia jubah ungu, dan sambil membawa-Nya maju ke depan, mereka berkata,.. "Salam, hai raja orang Yahudi!", seraya mereka menampar muka-Nya.
Setelah itu, Pilatus keluar lagi, sembari berkata kepada kerumunan orang banyak,... "Lihatlah, aku membawa Dia ke luar kepada kamu, supaya kamu tahu, bahwa aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya."(Yohanes 19:1-4).
Lalu Yesus keluar dengan mahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka... "Lihatlah manusia itu!" (bahasa Yunani: Ecce homo). Kemudian Imam-Imam kepala dan penjaga-penjaga melihat Dia, maka berteriaklah mereka,.. "Salibkan Dia, salibkan Dia!", kata Pilatus kepada mereka:.."Ambil Dia dan salibkan Dia; sebab aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya.", jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya,... “Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah".
Ketika Pilatus mendengar perkataan itu, timbul ketakutan dalam dirinya, lalu ia masuk ke dalam gedung pengadilan dan berkata kepada Yesus: "Dari manakah asal-Mu?", tetapi Yesus tidak menjawabnya. Maka kata Pilatus selanjutnya kepada Yesus,.. "Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" Yesus menjawab: "Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya."
Sang Pilatus yang apatis semakin bingung, walaupun sedikit terkesan berusaha untuk membebaskan Yesus. Tetapi saat itu juga, orang-orang Yahudi berteriak lagi, .. "Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar". Ketika Pilatus mendengar perkataan itu, maka hilanglah belas kasihannya kepada Yesus. Pilatus merasa terhina, bahkan mungkin ia tersinggung mendengarkannya. Kemudian ia memerintahkan untuk membawa Yesus ke luar, dan ia duduk di kursi pengadilan, di tempat yang bernama Litostrotos, yang dalam bahasa Ibrani disebut Gabata.
Tepat hari itu adalah hari persiapan untuk ‘Paskah’, kira-kira jam 12 hitungan waktu ala Yahudi, sedangkan untuk hitungan waktu ala Romawi adalah pukul 6 pagi (Yohanes 19:14). Kata Pilatus kepada orang-orang Yahudi itu: "Inilah rajamu!" Maka berteriaklah mereka,.. "Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!", lanjut Pilatus kepada mereka,.. "Haruskah aku menyalibkan rajamu?" Jawab imam-imam kepala.."Kami tidak mempunyai raja selain dari pada Kaisar!" (Yohanes 19:5-15).
Kemudian sang Pilatus melihat bahwa segala usahanya akan menjadi sia-sia saja, bahkan menurutnya akan terjadi pemberontakan yang akan merugikan pihaknya dan bisa saja mencelakakan jabatannya. Maka dia pun mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata,.. "Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!", dan seluruh rakyat pun menjawab, .."Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!" (Matius 27:24-25).
Akhirnya, Yesus Kristus harus disalibkan! Kristus harus menjalani kesengsaraan dengan tragis di atas kayu salib. Kristus menjadi korban menyelewengan dari hak ‘positivus’ seorang warga negara yang seharusnya mendapatkan pengadilan secara baik dan adil, sebagaimana yang pernah dikemukan oleh pakar hukum Georg Jellinek (Madung Gusti, 2013:141).
Tragedi pengadilan Kristus hingga berlanjut pada keputusan yang harus menggiring-Nya kepada hukuman mati di kayu salib, memang sesuatu yang paradoksal. Seharusnya, benar seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal yaitu “On Liberty”, di situ Mill menulis, “Segala yang menjadikan eksistensi menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain“ (John Stuart Mill, On Liberty, 130); (dalam Wolff Jonathan, 2013:53).
Mill dalam hal ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa, apabila rakyat diberikan ‘kebebasan’ penuh, maka tentu saja, sebagian besar diantara mereka pasti menyalahgunakan kebebasan tersebut, serta dapat memanfaatkan ketidakberadaan pemerintah untuk mengesploitasi orang lain (Wolff Jonathan, 2013:171). Sebagaimana hal ini tampak pada keputusan Pilatus yang menjadi korban dari hak ‘kebebasan penuh’ yang diberikan kepada orang-orang Yahudi pada saat itu. Sehingga akhir dari segalanya, keputusan memihak kepada orang-orang Yahudi untuk mengesploitasi hak Yesus, dan melepaskan Barabas seorang pembunuh dan penyamun yang pernah dimasukkan dalam penjara karena pemberontakannya (Matius 27:26; Markus 15:15; Lukas 23:23-25).
Kristus akhirnya harus diserahkan kepada gerombolan orang Yahudi di bawah bayang-bayang pengaruh seperangkat sistem ‘otoritas nihilisme’ (paham yang mengkomunikasikan sebuah ketiadaan) yang saat itu dikumandangkan oleh para cendikiawan agama Yahudi itu sendiri. Walaupun sebenarnya mereka mengerti apa yang harus mereka mengerti—bahkan memahami juga apa yang seharusnya mereka pahami—Namun apa yang mereka pahami dan mengerti itu, bagaikan sebuah kisah dalam novel terkenal, yang pertama kalinya mencetuskan terminologi ‘nihilisme’ yaitu dalam karya Ivan Turgenev yang berjudul: “Fathers and Souns” (1862), di mana dalam novel itu dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai ‘nihilisme’. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih merupakan sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran—seperti yang tampak pada kisah pengadilan dan penghukuman Yesus sang pembebas manusia.
Ya, Kristus pada akhirnya diperlakukan layaknya sebuah peradaban rasionalitas yang mendefinisikan nihilisme sebagai sebuah pesimisme yang menghancurkan nilai-nilai kemanusian (Matius 27:26; Markus 15:15; Lukas 23:25; Yohanes 19:16).
Sebuah “Ketulusan”
Karena umat manusia sering hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, bahkan selalu saja diperlakukan juga secara tidak manusiawi, maka kemanusiaannya pun mengalami ‘degradasi’. Pada titik ini, manusia pun sangat membutuhkan kebebasan. Sebagaimana Erich Fromm (2011:82) pernah menyatakan bahwa manusia selalu menciptakan dirinya sendiri dalam proses sejarah yang dimulai dengan tindakan pertamanya pada kebebasan-kebebasan menjadi tidak patuh—untuk mengatakan ‘tidak’—sehingga pemahaman akan konsep ‘penyelewengan’ yang dilakukannya, terletak pada sifat alami keberadaannya sebagai sosok manusia.
Sehingga, hanya melewati proses ‘keterasingan’, manusia mampu mengatasi dan mendapatkan keselarasan baru. Dalam ‘keselarasan baru’ ini, Fromm menggambarkannya sebagai kesatuan baru antara manusia dan alam, yang oleh literatur kerasulan dan kerabian, disebut sebagai ‘hari akhir’ atau tepatnya dikatakan “waktu Messiah”, dan waktu Messiah ini adalah jawaban sejarah atas kebiadaban manusia sebagai insan yang segambar dengan Allah. Waktu Messiah bukanlah sesuatu yang kebetulan terjadi pada manusia, tetapi hal ini berpautan dan lebih merupakan jawaban logis atas kerusakan total yang menimpa aspek kehidupan manusia.
Tetapi Allah ‘tulus’ mengasihi manusia dalam kerusakan totalnya, dan dalam seluruh penderitaan totalnya, serta dalam seluruh ketidakberdayaan totalnya. Allah dalam hal ini sangat memikirkan penderitaan insan manusia, sehingga melalui penjelmaan-Nya dalam rupa manusia, kemudian Allah yang “Have the power” dan “Virtue”, bahkan “Holiness”, dengan rela merendahkan diri-Nya (menjadi rendah) untuk datang ke dalam dunia melalui Juruselamat—yaitu Yesus Kristus (The Savior).
Akhirnya, Yesus hadir ke dalam dunia untuk membawa kebebasan dan pelepasan. Yesus datang membawa harapan, Yesus juga datang membawa terang ditengah kegelisahan, ditengah ketertindasan, ditengah keputusasaan, serta di tengah kehancuran, bahkan ditengah kegelapan sekalipun. Yesus menjadi pembaharu kehidupan yang tidak ada tandingannya hingga saat ini.
Bahkan dengan kasih-Nya yang ‘tulus’ dan tiada taranya itu, Yesus pun membuka akses perlindungan bagi mereka yang tertindas, mereka yang teluka, mereka yang terlupakan, bahkan sekaligus bagi mereka yang viktrim akan kekerasan terstruktur sekalipun. Sebab Yesus benar-benar tahu perasaan manusia ketika ia terjatuh. Sebagaimana nyata ketika Yesus harus merasakan sakit, lelah dalam menjalani Via Dolorosa.
Ketika itu, Yesus sendiri tidak sanggup untuk membawa salib-Nya sendiri. Padahal tangan-Nya sendiri penuh dengan kuasa penyembuhan, sebagaimana yang dilakukannya sebelum Dia di siksa. Bahkan kaki-Nya juga adalah kekuatan yang pernah berjalan di atas air. Namun setulus hati Yesus, dan semurni jiwa Yesus, bahkan dalam keterbatasan diri manusia-Nya, maka Yesus rela merasakan semua penderitaan itu demi dunia yang telah terpisahkan dari Allah.
Kasih dan pengorbanan Kristus di kayu salib, akhirnya diberikan secara cuma-cuma untuk umat kepunyaan-Nya. Karena Yesus datang sebagai sebuah pribadi manusia yang berkorban dalam kemanusiaan-Nya yang penuh dengan ‘ketulusan’ untuk kepentingan orang lain—dan ‘ketulusan’ yang bukan untuk diri-Nya sendiri.
Carson, seorang Teolog Reformed Evangelikal dan Profesor Perjanjian Baru yang dilahirkan di Kanada, pernah menjelaskan bagaimana keseimbangan, cerdik, dan tulus ke dalam kalimatnya sebagai berikut:..
“This beautifies a Christian, when he has the serpent's eye in the dove's head. We must have the innocence of the dove—that we may not harm others; and we must have the wisdom of the serpent—that others may not harm us. In short, innocence without wisdom is too weak to be safe. Wisdom without innocence is too subtle to be good. When wisdom and innocence appear together, they preview the soul's happiness” (Carson, 2000, Love in Hard Places).Dalam bagian akhir dari penjelasannya di atas, Carson bermaksud untuk menggambarkan bahwa: tidak bersalah tanpa kebijaksanaan, adalah terlalu lemah untuk menjadi aman. Tetapi kebijaksanaan tanpa bersalah, terlalu halus untuk menjadi baik. Tetapi ketika kebijaksanaan dan bersalah muncul bersama-sama, mereka melihat kebahagiaan jiwa.
Demikian juga pribadi Kristus dalam kemanusiaan-Nya yang sesungguhnya—Yesus tidak pernah melakukan kesalahan—bahkan kebijaksanaan dan ketulusan menjadi sesuatu yang harus ditanggungkan bagi kesalahan dan pelanggaran, serta dosa umat manusia—seperti penekanan Carson di atas—bahwa dengan kebijaksanaan dan ‘ketulusan’ Kristus ini, Dia rela—dalam ‘ketulusan-Nya’—menerima penyiksaan demi penyiksaan, dengan memberikan ‘nyawa’-Nya sebagai penebusan yang bersifat ‘membebaskan’ umat-Nya yang telah menjadi tawanan dosa.
Dalam karyanya berjudul “All that Jesus Asks”, seorang editor ternama di Christianity Today, Stan Guthrie (2012), menyatakan bahwa: dalam kemanusiaan-Nya, hidup ini tidak mudah bagi Yesus. Hal ini sangat jelas ketika Yesus juga bisa menangis, menunjukkan keterkejutan, merasakan ketakutan yang meliputi Dia dan sukacita yang menguasai Dia, menderita karena pencobaan, belajar tentang kepatuhan dan mengalami dukacita serta kesedihan yang paling mendalam yang juga pernah dialami oleh manusia. Artinya bahwa, Yesus dalam struktur kemanusiaan-Nya, adalah merupakan tubuh, jiwa, dan raga, yang benar-benar manusia yang menjadi manusia yang sesungguhnya.
Sebagaimana nubuat kitab Yesaya, bahwa sesungguhnya Yesus adalah ‘Seorang yang penuh kesengsaraan’, seperti dinyatakan juga dalam Alkitab yang menggambarkan Kristus lapar, haus, dan capai—dan hal ini,—tentu saja memberikan kesaksian terbesar bagi dunia—bahwa sifat-sifat “manusiawi” dalam diri Kristus adalah benar-benar seratus persen adanya, sebagaimana jelas dalam kesengsaraan yang Dia rasakan menjelang kematian-Nya yang tergantung di kayu salib.
Rahmatullah untuk Semua
Verbum caro factum est,.. dan “Firman itu telah menjadi manusia”. Maka saat itu juga ‘Rahmat’ hadir dan termeteraikan melalui diri Yesus Kristus di dalam bumi yang penuh dengan ketidakadilan, juga dalam dunia yang didalamnya telah terjadi pemberontakan.
Kristus hadir di dalam setiap “kata” dan “tingkah”, serta “laku”-Nya, yang menguatkan kaum lemah, serta membebaskan mereka-mereka yang selalu terhimpit beban kehidupan—senasib dengan yang tersingkir. Sang Rahmat kemudian menjadi berwujud Rahmattulah (belas-kasih Allah) yang nyata adanya—serta yang menyelamatkan seluruh insan manusia dengan segala konsekuensi logis dari apa yang disebut sebagai moral (Titus 2:11-12).
“Ho huios tou anthropou”, sebab Anak manusia datang dengan segala kesederhanaan-Nya—bermula di kandang domba yang hina, Dia dilahirkan dengan terbungkus kain lampin, tanpa kemewahan, tanpa kemegahan. Kelahiran Kristus menandakan bahwa Dia tidak datang sebagai raja yang berkuasa atau manusia hebat dan super. Melainkan Dia datang sebagai bayi yang bergantung pada orang lain untuk kebutuhan fisik-Nya (Matius 1:18-25 dan Lukas 2:1-20). Ya, tidak seperti yang terjadi pada bayi-bayi lain pada umumnya, sebab pada malam kelahiran-Nya di Betlehem, lebih merupakan “keunikan” dalam sepanjang sejarah.
Yesus pun tidak diciptakan oleh ayah dan ibu secara biologis, karena Dia sudah terlebih dahulu ada sebelum dunia ini dijadikan—Yesus mempunyai pra-kehidupan surgawi sebelumnya (Yohanes 1:1-3,14)—Sebab Yesus adalah Allah itu sendiri—Pencipta alam semesta (Filipi 2:5-11).
Polemik “Penjelmaan” Yesus
Penjelmaan Allah melalui diri Yesus Kristus memang banyak memunculkan polemik. Ada banyak pihak yang mengklaim bahwa “Tuhan beranak”. Perkataan seperti ini sesungguhnya sangat menyesatkan. Sebab tidak pernah tertulis dalam Kitab Suci mana pun tentang “Tuhan itu beranak”. Yang sebetulnya adalah Tuhan "menjelma" (berubah wujud) menjadi manusia.
Harus bisa dibedakan kedua kalimat ini. Karena antara kata “beranak” dan kata “menjelma” ada perbedaan yang signifikan (beranak merujuk pada adanya rangkaian dari suatu proses sebelumnya, sehingga bisa beranak; sedangkan menjelma terjadi secara langsung). Jadi, ini bukan persoalan Tuhan itu beranak atau tidak, tetapi Tuhan itu “menjelma” menjadi manusia.
Nah, mengapa Tuhan ‘menjelma’ menjadi manusia? Ada tiga hal yang perlu diperhatikan agar tidak terperangkap dalam klaim-klaim yang menyesatkan.
Pertama, Allah itu Maha Kuasa. Jika Allah Maha Kuasa, artinya Dia memiliki segala kuasa dan kekuatan untuk berbuat apa saja. Dia mau menjadi apa saja, tentu itu bisa saja. Karena Dia memiliki kuasa untuk “menjadi” seperti apa saja. Jadi jikalau Allah menjelma (boleh di baca: berubah wujud) menjadi manusia, apakah itu sebuah kesalahan? Tentu tidak! Sebab ingat bahwa Dia adalah Maha Kuasa. Kecuali jika Dia tidak maha kuasa lalu berubah wujud, maka itu adalah tendensi.
Kedua, Allah itu Suci dan penuh Kemualiaan. Itu sebabnya manusia yang berdosa ini tidak mungkin bisa melihat, menyentuh, bahkan mendekati Kesucian Allah ‘secara langsung” (fisik). Tidak ada manusia yang pernah melihat Allah (Keluaran 33:20; Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12). Alkitab mengatakan bahwa ”Allah adalah Roh”, bentuk kehidupan yang tidak dapat dilihat mata manusia—Yohanes 4:24; 1 Timotius 1:17.
Tapi Allah bisa dilihat oleh para Malaikat karena mereka adalah makhluk Roh (Matius 18:10). Selain itu, beberapa manusia yang telah meninggal akan dibangkitkan untuk hidup di surga dengan tubuh roh dan saat itu mereka akan bisa melihat Allah—Filipi 3:20, 21; 1 Yohanes 3:2. Sewaktu Alkitab mengatakan bahwa Musa dan orang-orang Israel melihat “Allah Israel”, maksudnya adalah ”mereka melihat Allah yang benar dalam penglihatan” (Keluaran 24:9-11). Demikian juga Alkitab kadang berkata bahwa para nabi ”melihat Yehuwa” (Yesaya 6:1; Daniel 7:9; Amos 9:1).
Dalam semua kisah itu, konteksnya menunjukkan bahwa mereka memperoleh penglihatan dari Allah, bukan melihat-Nya langsung.—Yesaya 1:1; Daniel 7:2; Amos 1:1. Allah pernah berbicara kepada Musa dari semak berduri, Alkitab mengatakan bahwa Musa ”menyembunyikan mukanya, karena ia takut melihat Allah yang benar” (Keluaran 3:4, 6). Dalam hal ini, Musa tidak betul-betul melihat Allah karena konteksnya menunjukkan bahwa sebenarnya yang ia lihat adalah ”malaikat Yehuwa”—Keluaran 3:2.
Demikian pula sewaktu Alkitab berkata bahwa Allah ”berbicara kepada Musa muka dengan muka”, maksudnya adalah Allah mengobrol akrab dengan Musa (Keluaran 4:10, 11; 33:11). Musa tidak melihat muka Allah. Informasi yang ia terima dari Allah ”disampaikan melalui malaikat-malaikat” (Galatia 3:19; Kisah 7:53). Meskipun begitu, iman Musa kepada Allah sangat kuat sampai-sampai Alkitab mengatakan bahwa ia seperti ”melihat Pribadi yang tidak kelihatan”.—Ibrani 11:27.
Kitab Suci Al-Quran juga menulis bahwa dalam konteks itu Nabi Musa sampai pingsan. Padahal Musa sudah berpuasa sebelumnya. Jelasnya kisah ini bisa di baca dalam surat QS. Al-A’raf: 143. Nah, jika manusia tidak bisa melihat dan mendekati Allah, bagamana mungkin manusia mengatakan bahwa Allah itu ada? Lalu bagaimana manusia bisa bergaul akrab dan berkomunikasi dengan baik dan intim kepada Allah yang tidak kelihatan? Logika sederhananya, mungkinkah seseorang bergaul dan akrab dengan orang yang sebelumnya tidak pernah dikenal dan tidak pernah bertemu muka dengan muka? Tidak mungkin.
Kita hanya bisa bergaul ketika pertama-tama kita melihat wajahnya, mengenal orang itu, lalu bergaul akrab denganya. Karna itu maka Allah "menjelma" dengan mengambil rupa manusia, agar hakikat manusia yang berdosa ini bisa menjangkau (melihat, menyentuh, bergaul, dll) Allah. Seperti Thomas yang menjadi percaya setelah meraba dan menyentuh secara langsung bekas luka di tubuh Yesus.
Ketiga, manusia pertama Adam dan Hawa itu sudah jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3:1-24). Alquran juga mencatat jelas dalam surat Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-A’raaf [7]:11-25. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia terpisahkan dengan Kemuliaan Allah, sehingga terdapat jurang yang memisahkan antara Allah dengan manusia. Namun karena Allah itu “Maha Baik” maka Ia pun mendekati manusia dengan “menjelama” menjadi manusia, yaitu dengan cara-Nya sendiri. Sekali lagi, bukan beranak, tapi “menjelma”. Bagaimana caranya? Lihat poin pertama dan kedua di atas. Mengapa Allah melakukannya? Karena Dia adalah Allah yang menginginkan manusia memperoleh keselamatan. Bukankah Allah itu Maha Kasih, Baik dan Maha Penyayang? Mungkinkah manusia memperoleh keselamatan jika Allah hanya duduk-duduk saja di Singgasana-Nya? Mungkinkah kita katakan Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, jika Dia tidak bisa datang menghampiri manusia untuk di selamatkan? Tentu itu mustahil dan tidak mungkin.
Inkarnasi
“Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan”. (1 Timotius 3:16).
Istilah “Natal” yang melambangkan kelahiran Kristus, sering disebutkan sebagai sebuah penitisan (Incarnation), yaitu kalimat yang artinya “dalam daging”. Dalam hal ini, ‘Oknum’ yang berinkarnasi adalah Yesus yang disebutkan sebagai anak Allah. Sehingga terdapat dua hal yang perlu ditekankan.
Pertama. Inkarnasi menyatakan Firman Allah telah menjadi daging, yakni bahwa Allah telah menjadi manusia di dalam, dan oleh diri Yesus Kristus. Sebagaimana berbagai agama dan kepercayaan zaman dahulu, tentang cerita ilah-ilah yang konon katanya, banyak melakukan penampakan, yaitu menampakkan diri sekali-kali. Tetapi sebenarnya semua penampakan itu hanya untuk sesaat saja.
Terlebih lagi, para ilah-ilah tersebut tidak benar-benar menjadi manusia. Tetapi mereka hanya kelihatannya saja menjadi manusia. Namun diri Yesus Kristus tidaklah demikian adanya. Ia nyata—menjadi benar (benar-benar) manusia, yaitu manusia seperti layaknya natur dalam diri manusia biasa yang memiliki jiwa, raga, dan terbatas dalam ruang, jarak dan waktu, yang dalam bahasa Ibrani menekankan bahwa manusia benar-benar manusia, maka terdapat suatu ungkapan tetap di sini, yaitu: “lahir dari seorang perempuan” (Ayub 14:1;15:14). Sebab pada kenyataannya memang demikian adanya. Yesus dilahirkan dari seorang ‘perempuan’ (Galatia 4:4), hal ini menegaskan bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia yang dilahirkan secara biologis seperti manusia lain pada umumnya, tetapi melalui rangkaian proses Ilahi.
Kedua. Inkarnasi menyatakan firman Allah telah menjadi daging, yaitu Allah telah menjadi manusia di dalam Yesus dalam pemahaman bahwa, Allah sendiri datang menghampiri manusia, tanpa permintaan dari oknum manapun dan siapapun. Disekitar kisah kelahiran Yesus Kristus, tersirat bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah, yang datang dari luar, dari atas, dan masuk ke dalam manusia dan dunianya. Firman sebagai ‘logos yang kekal’ dan ilahi itu, merupakan Anak Allah pribadi, yaitu Yesus Kristus (Yohanes 1:1-8).
Sehingga dapat dipahami bahwa dalam keabadian, maka Sang Pencipta dan Pembebas yang Maha Kuasa dan Maha Tahu itu, datang ke dunia sebagai seorang manusia untuk menjadi sama seperti dunia ini. Agar supaya orang yang percaya kepada-Nya, tidak mendapatkan kebinasaan akibat dosa dan pemberontakannya, tetapi akan memperoleh anugerah keselamatan.
Pertanyaannya adalah, mengapa Allah mau melakukan inkarnasi? Mengapa Dia harus rela datang sebagai bayi dalam kesederhanaan, dari pada muncul dalam wujud kekuatan maha dasyat? Sebagaimana Dia harus menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia dan tinggal diantara manusia yang berdosa? Padahal Dia pun tahu bagaimana akan diperlakukan nantinya? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, sebaiknya dipahami tiga hal yang menjadi prinsip dasar dari kehadiran Yesus, yaitu dalam visi dan misi pembebasan-Nya bagi manusia dan dunia ini, yaitu: (1) konteks Kelahiran-Nya, (2) Kematian-Nya, serta (3) Kebangkitan-Nya.
Dapat dipahami lebih dalam bahwa Allah datang ke bumi melalui diri Yesus Kristus, semata-mata untuk menjadi ‘domba persembahan’ sebagai korban pembayaran atas dosa-dosa manusia (Yohanes 1:29).
Konsistensi Yesus dalam Penolakan
“Ia telah ada di dunia, dan dunia di jadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya” (Injil Yohanes 1:10). Demikian sepenggal kalimat yang sesungguhnya kembali menegaskan dengan pasti bahwa Anak manusia telah datang. Namun dunia tidak mengenal-Nya, bahkan lebih dari pada itu, tidak terdapat tempat bagi-Nya. Meskipun kedatangan-Nya adalah untuk menyediakan tempat bagi semua umat manusia.
Ya, dunia dengan sombong dan kejam menolak, bahkan menelantarkan Dia. Ironisnya, gerakan penolakan Kristus dan ajaran-Nya justru diprakarsai dan di pimpin langsung oleh kaum rohaniawan yang merupakan para pemuka-pemuka agama yang adalah wakil Allah sendiri di bumi ini.
Tentunya Alkitab secara jelas mencatat bagaimana sikap yang diperlihatkan manusia pada saat memperlakukan diri Yesus (Yesaya 53; Matius 26:59, 67; Mazmur 22:6; Matius 26:68), dalam jiwa-Nya (Mazmur 22:1; Matius 4:1-11; Lukas 22:44; Ibrani 2:17,18; 4:15), serta kematian-Nya (Lukas 23; Yohanes 19; Markus 15:24,25), dan kuburan-Nya di makam ‘pinjaman’ (Yesaya 53:9; Matius 27:57, 58, 60), kemudian muncul penghinaan terhadap diri-Nya.
Namun terlepas dari itu semua, Kristus tetap konsisten mengimplementasi ‘kasih’-Nya yang sungguh tak bekesudahan, dan yang terimplementasikan melalui kualitas kerelaan-Nya untuk di siksa, mati dan di kuburkan, demi untuk menebus laknat dosa umat manusia. Perbuatan kasih yang tak pernah ada bandingnya hingga saat ini.
Menurut Busthan Abdy (2016: 41), bahwa kerelaan Kristus menderita demi diri orang lain adalah didasarkan pada beberapa hal berikut:
- Tujuan Allah (Kisah Para Rasul. 2:23,24; Mazmur. 40:6-8),
- Memenuhi kriteria dan nubuat Perjanjian Lama (types—prophecies),
- Menjalani hukuman, dan membayar untuk kesalahan (Yesaya 53; Ibrani 9:12,15),
- Menghasilkan “pembebasan” bagi manusia yang berdosa melalui sebuah “Penebusan abadi” (redemption),
- Menunjukkan kepada manusia tentang hidup dan kehidupan (example).
Kasih yang Membebaskan
Kasih adalah ”Ketika Ia di caci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil“ (1 Petrus 2:23).
Dalam sebuah tulisan, seorang Doktor Dallas Theological Seminary, Greg Herrick (2006) menyatakan bahwa Allah tidak akan pernah bisa tidur, sampai Ia membuat jalan untuk orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk di “kasihi” untuk dapat juga menerima “kasih’ anugerah-Nya.
Bahkan Allah sendiri tidak hanya memindahkan pagar, melainkan Ia dapat menghancurkan penghalang bagi hadirat-Nya yang kudus. Dan Ia melakukannya melalui anugerah Yesus Kristus melalui salib-Nya. Melalui Kristus yang disalib itulah, dan hanya melalui Dia saja, manusia dengan leluasa mendekat kepada Bapa (Yohanes 14:6).
Allah begitu sangat berbelas kasih dengan mencurahkan pembebasan dalam keselamatan sebagai wujud anugerah-Nya, sehingga manusia dapat mengalami kasih-Nya yang berlimpah secara langsung dalam diri Yesus dari Nazaret.
Yesus Kristus memulai kehidupan baru-Nya di dunia ini dengan masuk ke dalam ruang keterbatasan kemanusiaan-Nya secara total, juga dalam totalitas penderitaan, serta penghinaan, yang semuanya itu diterima dengan ketulusan kasih-Nya.
Sebab telah nyata dalam penderitaan-Nya itu, termuat “kasih yang tulus”, yang tidak akan pernah dimiliki oleh siapapun juga di dunia ini. Karena “kasih” Allah yang begitu ‘besar’ kepada manusia ciptaan-Nya, sehingga Dia merendahkan diri-Nya, demi untuk kepentingan pembebasan manusia (Filipi, 2:8), yang nyata dan terwujud dalam diri Kristus.
Maka dinyatakankanlah ‘kasih’ dalam wujud pembebasan dari Allah melalui diri Yesus Kristus, sebagaimana tertulis dengan sempurna dalam kitab Yohanes.“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16)
Oleh: Abdy Busthan
*******
Tulisan ini di kutip dari Buku
Judul: SEKOLAH TUHAN: Pendidikan Kristen dalam Substansi
Penulis: Abdy Busthan
Tahun terbit: 2017
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota: Kupang
Kontak: 081-333-343-222 (Hp/WhatsApp)
Tidak ada komentar
Posting Komentar