Fakta bahwa Covid - 19 semakin mengganas adalah bukan isapan jempol semata. Setiap harinya, pandemi ini bahkan sudah menyebar hampir disel...
Fakta bahwa Covid - 19 semakin mengganas adalah bukan isapan jempol semata. Setiap harinya, pandemi ini bahkan sudah menyebar hampir diseluruh pelosok wilayah NKRI.
Tidak tanggung-tanggung Pemerintah akhirnya membuka keran kebijakan populis berupa bantuan sosial struktural sebagai stimulus fiskal dalam meredam lajunya wabah ‘extra ordinary’ Coronavirus Disease 2019 di bumi persada tercinta ini.
Presiden melalui surat keputusan No 12 tahun 2020 yang ditandatangani pada Senin 13 April 2020 kemudian menetapkan wabah pandemi covid-19 sebagai bencana nasional.
Bahkan dalam rentang waktu hampir 2 bulan ini, sudah cukup banyak peraturan diterbitkan terkait penanggulangan wabah pandemi covid-19 yang dimulai dari Perpu, Perpres, Permendagri, Permenkeu, PMK, SKB, Surat Edaran lembaga terkait yang disusul terbitnya peraturan di daerah mulai dari Pergub, Perbub, Perwako, Perda bahkan sampai di tingkat pemerintahan Desa.
Pemerintah kemudian mengambil langkah taktis lewat instrumen fiskal mencegah bencana corona, yang salah satunya adalah dengan meluncurkan anggaran sebesar Rp405,1 triliun sebagai bentuk komitmen fiskal dalam mendukung percepatan penanganan pandemi yang rencananya bisa digunakan dalam beberapa bidang: bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, serta untuk perlindungan sosial Rp110 triliun, dan pada insentif perpajakan dan stimulus KUR70 berjumlah 1 triliun, bahkan untuk pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp150 triliun.
Sebagai payung hukumnya tertanggal 31 Maret 2020 terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, ini akan berlaku untuk tiga tahun, yakni pada 2020, 2021 dan 2022.
Pada semua kebijakan yang ada, tentu akan diteruskan sampai kepada pemerintahan di Daerah melalui proses refocussing kegiatan dan realokasi anggaran dalam penggunaan APBD tahun anggaran 2020
Penumpang Gelap di Daerah
Dengan adanya kebijakan yang ada, KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengingatkan agar penggunaan dana penanganan covid-19 dilakukan secara efektif, transparan, dan akuntabel demi mencegah terjadinya korupsi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu saja ada pihak-pihak yang mencoba mengeruk keuntungan di dalam keadaan darurat sekalipun. Apalagi jika checks and balances lemah, maka pada level daerah, kepala daerah bisa dengan sangat mudah memanfaatkan dana bantuan tersebut demi kepentingan politiknya. Why not? Kenapa tidak?
Bansos misalnya, bisa jadi bansos yang disalurkan kepada masyarakat, terdapat penumpang gelap. Dan freerider-nya adalah beberapa pejabat daerah yang memanfaatkan bansos sebagai pork barrell-nya. Artinya, penerima bansos itu adalah titik-titik yang merupakan kantong pemilihan mereka.
Hal ini sangat menarik. sebab kemungkinan adanya penyimpangan sangat terbuka mengingat kontestasi Pilkada 2020 yang ditunda akan membuat kepala daerah sebagai "petahana" mencari modal dengan memanfaatkan dana bantuan tersebut.
Selain itu, tentu masih ada modus korupsi lainya yang dapat terjadi, seperti mark-up anggaran, mark-down pendapatan, hingga memberi keuntungan bagi kepentingan lingkaran terdekat. Oleh karena itu, publik harus mewaspadai kemungkinan terjadinya korupsi dalam rangka penanganan Covid-19 tersebut.
Empat titik rawan
Dalam proses penanganan covid-19 ini, ada empat titik rawan yang bisa membuka peluang munculnya korupsi
- Pada program pengadaan barang dan jasa. Titik ini sangat rawan dengan tindak kolusi, mark-up harga, kick back (pemulangan manfaat yang diberikan), serta conflict of interest atau potensi konflik kepentingan.
- Alokasi sumber pendanaan yang memungkinkan adanya distorsi kesepakatan antara pembelian dan pengadaan yang semestinya dengan realisasi yang dilakukan.
- Filantropi, atau biasa dikenal dengan sumbangan pihak ketiga. Pada titik ini rawan terjadi tumpang tindih pemberian bantuan. Bisa terjadi satu orang dapat menerima dua sampai tiga kali bantuan. Sementara ada masyarakat atau pihak lain yang masih belum mendapatkan bantuan sama sekali
- Masalah pendataan.Pengawasan ketat dapat meminimalkan data-data yang salah atau tidak tepat sasaran.
Singkat kata, substansi dasar korupsi adalah masalah moralitas. Pada level ini, semua masyarakat memang sangat membutuhkan kepemimpinan efektif abad 21 yang merupakan cerminan kepemimpinan spiritualitas
Salam, Wassalam
Hormat di bri
Oleh. Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar