Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

# Pendidikan

FALSE
FALSE
latest

Non Causa Pro Causa: Suatu Refleksi Tentang Kehidupan

Istilah "non causa pro causa" yang sering disebut dengan "false cause", adalah kesalahan penalaran atau kesesatan dalam ...


Istilah "non causa pro causa" yang sering disebut dengan "false cause", adalah kesalahan penalaran atau kesesatan dalam menalar sesuatu (boleh dibaca: falacy).


Non causa pro causa adalah kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya, yaitu dengan menganggap penyebab sesungguhnya dari suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Lalu disimpulkan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama. Padahal urut-urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Dalam kajian logika, kesesatan ini dikenal juga dengan sebutan: "post-hoc ergo propter hoc", yang artinya: "sesudahnya, maka karenanya". Misalnya, seorang pemuda setelah diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya ia mengalami sakit. Lalu tetangganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus cinta.

Letak Kesesatannya: Padahal diagnosa dokter adalah si pemuda terkena radang paru-paru, karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu.

Nah, mari kita berefleksi.

Betapa sering dalam kehidupan ini, kita terperangkap dalam kesesatan penalaran jenis ini dengan meletakkan "prasangka" terhadap sesuatu hal, tanpa mau meneliti kebenarannya terlebih dahulu.

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari percakapan saya dengan seorang sahabat yang tinggal di Surabaya dua hari yang lalu.

Sahabat saya ini memiliki dua anak kembar yang kini sudah menginjak usia remaja, namanya Josi dan Jose. Keduanya berjenis kelamin pria. Tentu Anda bisa membayangkan sendiri bagamana kemiripin sepasang anak kembar?

Josi sudah bertunangan dengan seorang gadis asal Ambon yang sedang menempuh Pendidikan Tinggi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di kota Kenangan Surabaya. Gadis itu bernama Katrin. Sementara Jose belum memiliki pacar, tapi sudah seminggu ini sedang mengadakan PDKT alias pendekatan, dengan seorang gadis asal kota Suroboyo bernama Nilam.

Beberapa hari yang lalu, si Jose mengajak Nilam ke salah satu KFC yang berada tidak jauh dari Tunjungan Plasa (TP) di kota Surabaya. Hal ini dilakukan Jose sebagai upaya dalam memanfaatkan momen ini untuk KC alias "Katakan Cinta" kepada sang pujaan hati, Nilam.

Namun apa yang terjadi. Ketika Jose dan Nilam sedang asik-asiknya berduaan, tiba-tiba datanglah Katrin tunangan Josi saudara kembar Jose. Katrin dengan emosi yang sangat menggebu-gebu, dan tanpa basa-basi terlebih dahulu, langsung menampar Jose.

Tidak hanya sampe di situ saja. Katrin pun meraih sebotol Aqua yang berada di meja, lalu menyemprotkan air yang berada dalam botol itu ke arah Nilam yang berdiri pas di samping Jose. Maka akhirnya keributan pun terjadi disitu. Singkat cerita, persoalan pun berlanjut ke pihak kepolisian.

Nah, apa yang sesungguhnya menjadi motif di balik tindakan Katrin ini? Ternyata, Katrin melakukannya atas "prasangka" yang salah. Katrin berpikir bahwa Jose adalah Josi tunangannya. Padahal Jose bukanlah Josi, yang meskipun keduanya mirip, tapi sebenarnya tak sama.

Ya, tanpa mau menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu, Katrin bereaksi atas prasangka yang diletakkan pada tempat yang sesat. Pada titik ini, Katrin sudah melakukan kesesatan "non causa pro causa".


Dalam Injil Yohanes 1:46, Natanael sahabat Filipus dari Bethsaida juga pernah melontarkan pertanyaan dengan dasar prasangka ‘non causa pro causa’ ini. Kata Natanael kepadanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"

Kita tahu bersama bahwa kota Nazaret berlokasi di pegunungan sebelah selatan Galilea, dekat persimpangan jalan kafilah besar dalam rute perdagangan masa itu. Itu sebabnya pasukan Romawi yang bertugas di Galilea ditempatkan di kota kecil ini. Itu sebabnya orang Nazaret selalu berhubungan dengan bangsa-bangsa dari seluruh dunia sehingga berita dunia cepat sampai kepada mereka. Mereka bersikap independen, tak terikat, yaitu sikap yang dianggap rendah oleh sebagian besar orang Yahudi.

Nah, barangkali inilah alasan di balik pertanyaan Natanael di atas. Sekali lagi, Natanael berprasangka buruk dan menyamakan semua penduduk kota Nazaret dengan alat ukur yang keliru. Padahal ada seseorang yang sungguh-sungguh baik hati tinggal disana, yaitu Sang Guru Agung: Yesus Kristus!

Begitupun dalam alam realitas ini. Kerapkali kita menilai sesuatu berdasarkan alat ukur yang ada pada pikiran kita, tanpa mau mempertimbangkannya berdasarkan perspektif orang lain. Sehingga lahirlah sikap "tendentious" dengan menganggap bahwa kita adalah orang paling hebat dari orang-orang disekitar kita.


Bahkan lebih ekstrim lagi, kita menganggap hanya kitalah makluk yang paling benar, dan paling sempurna di dunia ini.

Mari sejenak kita renungkan, mungkinkah kita MENGASIHI sesama kita selama pikiran kita dipenuhi dengan kesesatan non causa pro causa? Alias prasangka buruk?

Wassalam. Hormat di bri
Oleh: Abdy Busthan

Tidak ada komentar