Video

Video News

Iklan

Kasak-Kusuk UU dan Perpu dalam Pencegahan Covid 19

SUARA NABIRE
Sabtu, 30 Mei 2020, Mei 30, 2020 WIB Last Updated 2020-06-07T01:24:18Z
Oleh: Abdy Busthan

Sejak awal pencegahan Coronavirus Disease 2019 di republik ini, Presiden dengan sangat tegas menolak kebijakan karantina wilayah atau yang biasa dikenal dengan istilah “lockdown”. Tidak tanggung-tanggung Presiden menyatakan bahwa sesuai amanat undang-undang, lockdown atau tidak lockdown, kewenangan sepenuhnya tetap berada pada pemerintah pusat bukan pada pemerintah daerah. 

Artinya bahwa, garis komando dalam pengambilan kebijakan terkait penanganan pandemi covid diseluruh wilayah NKRI (tanpa terkecuali), harus mematuhi kewenangan pusat. Kemungkinan pemerintah beranggapan bahwa keputusan ini didasari bahwa lockdown tidak semudah membalik telapak tangan. Akan banyak resiko yang nantinya dihadapi, sehingga keadaan bisa menjadi jauh lebih buruk dan tidak terkendali, sehingga korban akan terus berjatuhan. 

Sebagaimana fenomena penerapan lockdown yang dianggap gagal dalam pencegahan covid-19 juga pernah diberlakukan di beberapa negera seperti: Italia, Prancis, Denmark, dan negara India yang justru memunculkan ragam masalah yang sangat muskil.

Maka dengan segala pertimbangan yang ada, akhirnya pemerintah mempersiapkan skema pengendalian dalam memerangi pandemi covid - 19 dengan menggunakan beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Undang-Undang tentang Bencana, Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Nomor 23 Tahun 1959) tentang Penetapan Keadaan Bahaya.

Nah, mari kita coba melihat dampak UU dan Perpu ini secara lebih mendalam.

Bahwa dalam Perppu yang pada awalnya diterbitkan oleh Presiden Soekarno itu terletak serangkaian peraturan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan status darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Artinya dalam Perppu itu juga diatur bahwa "penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat". Pada titik ini, Presiden bisa saja mengumumkan darurat sipil jika terjadi situasi-situasi yang sangat genting sebagaimana tercantum dalam Pasal 1, "...sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa atau ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara".

Persoalannya adalah, bahwa dengan mengumumkan darurat sipil sebagaimana tertera dalam Perppu tersebut adalah apabila situasinya karena terjadi kerusuhan atau munculnya bencana alam, sementara untuk wabah covid-19 jelas masuk dalam kategori bencana non alam. Dan hukuman atas pelanggaran status darurat sipil dalam Perppu itu juga tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp. 20.000,-. Coba bandingkan dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana penjara selama satu tahun atau denda Rp. 100 juta.

Hal lainnya lagi, bahwa skema pengendalian dengan Perppu itu bisa saja dianggap menghindarkan pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika darurat sipil diberlakukan pemerintah terkesan tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar masyarakat. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, disebutkan bahwa "selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat".

Persoalan berikutnya, bahwa Penerapan Darurat Sipil juga bertolak belakang dengan asas hukum “lex specialis derogat legi generalis”, yaitua hukum yang khusus, dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Hal ini seharusnya dipertimbangkan. Sebab, Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan sangat sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu Penetapan Keadaan Bahaya.

Menyusul persoalan lainnya, dimana pilihan pencegahan covid-19 ditandai dengan diterbitkannya PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah. PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya mengenai PSBB, dan tidak mengenai materi yang lain. Artinya bahwa sektor kebutuhan hidup orang dan makanan hewan ternak mutlak menjadi tanggung jawab sendiri.

Menarik memang. Bahwa dari PP Nomor 21 Tahun 2020 tersebut dan dengan merujuk pada kondisi perekonomian masyarakat saat ini, selanjutnya Presiden mengultimatumkan penundaan cicilan selama setahun, sekaligus penurunan bunga untuk kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yaitu di bawah Rp 10 miliar. Penundaan cicilan selama setahun juga berlaku bagi kredit motor atau mobil oleh ojek online dan sopir taksi, serta kredit perahu oleh nelayan.

Bahkan pada pertengahan bulan Maret lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Namun, isi aturan tersebut terkesan bias dan tidak spesifik, sebagaimana yang sudah disampaikan Presiden. Disebutkan dalam aturan itu bahwa bank bisa terlibat dalam memberikan stimulus perekonomian di tengah pandemi covid-19 yang sedang melanda, yakni melalui kebijakan penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit.

Ya, kebijakan seperti itu memang bisa dilakukan, namun harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Sedangkan restrukturisasi bisa diberikan kepada debitur, tanpa batasan plafon, setelah maupun sebelum terdampak wabah covid-19. Sebagaimana bentuk restrukturisasi ini seperti: penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan atau konversi kredit menjadi "Penyertaan Modal Sementara", sehingga kredit berstatus lancar setelah restrukturisasi. Dan beberapa sektor yang terdampak wabah covid-19 adalah sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pertanian, dan pertambangan.

Demikian halnya dengan tagihan listrik, dimana Presiden juga memberikan bantuan kepada konsumen dengan 450Volt Ampere (VA) berupa pembebasan biaya tagihan. Sedangkan kepada konsumen bersubsidi 900 VA diberikan keringanan tagihan sebesar 50 persen. Kebijakan pemberian keringanan tagihan listrik tersebut sebagai bagian dari perlindungan sosial untuk masyarakat lapisan bawah di tengah wabah covid-19 yang di gadang-gadang mulai diberlakukan selama tiga bulan lamanya, yakni bulan April, Mei, dan Juni 2020. Nah, jika dipahami secara lebih mendalam, sebenarnya bentuk bantuan ini substansinya sama dengan penundaan cicilan kredit kepada nasabah, dimana pelaksanaan pembebasan dan keringan tagihan listrik kepada konsumen harus dilaksanakan dengan mudah dan tidak rumit: bias birokrasi, mudah diakses, bebas pungli, transparan, tidak diskriminasi, dan lain sebagainya.

Semua mekanisme yang nantinya diterapkan seharusnya tidak mempersulit nasabah dan konsumen, serta mudah dilaksanakan oleh petugas, dan dilengkapi standar pelayanan. Jika tidak maka pelaksanaannya bisa sebaliknya: sulit diakses, marak pungli, tertutup, diskriminatif, dan manipulatif. Maka sudah dapat dipastikan bahwa publik akan semakin menghadapi kerugian besar karena tidak diterapkannya Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau berjalannya model lockdown ala Indonesia yang selama ini memang telah membuat sebagian besar masyarakat mengurung diri dalam rummah sehingga tidak produktif.

Dengan persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas, maka urgensinya adalah pemerintah harus sesegera mungkin melakukan langkah-langkah konkrit demi kebaikan bersama, seperti pengawasan dan pengoptimalan kebijakan stimulus dan perlindungan sosial agar bisa tepat sasaran, sehingga mampu menyerap pihak-pihak mana yang perlu untuk dibantu. Karena di masa-masa pandemi corona ini jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan hanya sebatas indah dalam opini, tapi justru rendah dalam manfaatnya.

Sekian, 
Wassalam. 
Hormat di bri
Komentar

Tampilkan

Terkini