Oleh: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe Besok kita merayakan Paskah setelah melewati Sabtu senyap. Memang kesenyapan ini sering dianaktiri...
Oleh: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe
Besok kita merayakan Paskah setelah melewati Sabtu senyap. Memang kesenyapan ini sering dianaktirikan dalam tahun gerejawi. Pada hal justru kesenyapan ini mestinya dipakai sebagai "medium" untuk sendiri bersenyap di hadapan Tuhan.
Selama ini kita banyak terjebak dalam keriuhrendahan yang tidak perlu. Ibadah-ibadah kita cenderung riuh-rendah sehingga tidak ada waktu sedikitpun untuk kesenyapan itu.
Wabah Covid-19 ini mungkin merupakan saat yang tepat untuk kembali kepada kesenyapan itu. Dalam kesenyapan pula kita memperingati Kebangkitan. Paskah. Kita percaya bahwa setelah peristiwa yang mengerikan itu terbitlah fajar baru. Kehidupan. Allah adalah Allah kehidupan.
Pada pihak lain, tidak kurang juga yang meragukan kebangkitan itu. Setidak-tidaknya dalam berbagai diskusi teologis keraguan itu diungkapkan kendati alasan-alasan yang diberikan sendiri tidak meyakinkan juga.
Pada pihak lain, tidak kurang juga yang meragukan kebangkitan itu. Setidak-tidaknya dalam berbagai diskusi teologis keraguan itu diungkapkan kendati alasan-alasan yang diberikan sendiri tidak meyakinkan juga.
Pertanyaan-pertanyaan seperti, benarkah kebangkitan itu historis, artinya sungguh-sungguh terjadi, atau itu hanya reka-rekaan alias rekayasa para pengikut Yesus saja? Berbagai buku sudah ditulis untuk membahas pertanyaan yang satu namun mendasar ini.
Juergen Moltmann misalnya mengatakan bahwa itulah pertanyaan yang keliru. Kalau kita bertanya seperti itu kita memberikan otoritas luarbiasa kepada sejarah untuk menghakimi sebuah peristiwa yang belum pernah ada presedennya. Maka pertanyaan yang benar adalah, bagaimanakah sejarah dinilai di bawah Kebangkitan.
Bultmann yang tidak terlalu entusias dengan sejarah mengusulkan agar kebangkitan difahami secara eksistensial saja. Itu berarti tidaklah relevan untuk bertanya apakah kebangkitan itu historis atau tidak. Jauh lebih penting apa makna kebangkitan bagi kehidupan masing-masing.
Pada pihak lain, Pannenberg justru mendukung bahwa kebangkitan adalah sungguh-sungguh historis. Kalau tidak demikian, masakan para saksi pertama berani mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela sesuatu yang mereka tidak saksikan dan yakini.
Demikianlah diskusi ini berlangsung dan akan terus berlangsung selama teologi tetap merupakan kegiatan yang syah dan dibutuhkan oleh gereja.
Demikianlah diskusi ini berlangsung dan akan terus berlangsung selama teologi tetap merupakan kegiatan yang syah dan dibutuhkan oleh gereja.
Tentu saja berbagai pandangan itu dipicu pula oleh pemberitaan Injil-injil tentang kebangkitan yang tidak selalu serasih, bahkan cenderung bertentangan. Terhadap hal ini, Prof. Tj. Baarda, seorang pakar ilmu PB di Vrije Universiteit berbicara tentang "oermoment". Secara harafiah berarti "momentum purba". Yang ia maksudkan adalah suatu momen yang begitu purba, yang mengejutkan, yang dahsyat dan karena itu tidak bisa dilukiskan dengan kosakata yang ada.
Para penulis Injil yang menuliskan peristiwa itu belakangan mempergunakan perbendaharaan bahasa yang mereka punyai. Itulah sebabnya penggambaran-penggambaran mereka tentang kebangkitan tidak sempurna dan bahkan bisa tidak serasi.
Namun "oermoment" itu sendiri tidak pernah salah. Tuhan bangkit dan itulah yang menyebabkan kita ikut bersorak-sorai hari ini, Christos Victor.
Namun "oermoment" itu sendiri tidak pernah salah. Tuhan bangkit dan itulah yang menyebabkan kita ikut bersorak-sorai hari ini, Christos Victor.
Selamat Paskah!
Tidak ada komentar
Posting Komentar