Video

Video News

Iklan

Paradoks Iman dalam Kajian Filsafat, Sebuah Catatan

SUARA NABIRE
Jumat, 25 Desember 2020, Desember 25, 2020 WIB Last Updated 2022-02-28T06:39:33Z


Segala hal yang dikatakan Tuhan oleh kajian filsafat, tetap akan mengambang. Mengapa? Sebab pikiran 'yang manusiawi’ gagal dan terperangkap dalam inkosistensi iman yang dalam. Namun sebenarnya, justru kegagalan ini dapat dinilai positif sebagai konsistensi iman yang kuat.

Thomas Aquino, filsuf Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan, pernah mendeklarasikan konsepnya tentang iman dengan istilah “cum assensione sentire”—“setuju dengan yang di kira”. Dalam hal ini Aquino berpendapat bahwa iman bukanlah tentang hal yang (sudah) diketahui, melainkan dengan apa yang (masih) dikira. Tentang pertanyaan-pertanyaan terakhir, maka ada banyak yang tidak diketahui. Persetujuan dengan jawaban yang diberikan itu lebih berdasarkan pada kebebasan daripada pengertian. Demikian pendapat Aquino.

Berbeda halnya dengan pendapat filsuf kontemporer asal perancis, Emmanuel Lévinas (1906-1995), ia menggagas pikirannya tentang iman melalui hubungan antar-manusia, yaitu dalam karyanya berjudul “Totalitas dan Tak Berhingga: Esai tentang Eksterioritas" (K. Bertens, 2006:309-328). Menurut Lévinas, yang dimaksud sebagai totalitas oleh, adalah bagaimana tradisi filsafat Barat sejak Descartes menempatkan pribadi manusia sebagai individu yang total. Di sini manusia sebagai individu berperan sebagai subyek yang terpisah dari segala obyek lain diluar dirinya—baik itu manusia lain, makhluk lain, atau benda-benda yang lainnya.

Selanjutnya Lévinas berkata, bahwa totalitas itu dihancurkan "yang tak berhingga". Dikatakan "yang tak berhingga" karena realitas diluar diri manusia yang tidak dapat dikuasai oleh totalitas individunya sendiri. Kemudian Lévinas membedakan dua sikap terhadap kenyataan, yaitu kenyataan dianggap sebagai totalitas, tetapi juga ke-tak-berhinggaan (Hamersma Harry, 2014:109).

Pertama, kenyataan yang dapat dianggap sebagai totalitas bahwa, banyak pemikir menganggap bahwa kenyataan sebagai totalitas, hingga berasumsi bahwa seluruh realitas dapat dimengerti. Bahwa manusia sebagai subjek, mampu ‘menangkap’ seluruh kenyataan sebagai objek. Seluruh kenyataan dianggap sebagai satu sistem, dengan manusia sebagai pusatnya.

Kedua, sementara kenyataan dapat dianggap sebagai ke-tak-berhinggaan, bahwa dalam kenyataan, ada sesuatu yang tidak dapat ditangkap, sesuatu yang tidak pernah menjadi objek, dan sesuatu yang merusakkan totalitas, sehingga totalitas ini menjadi ke-tak-berhinggaan. Dalam hal ini seseorang melihat sesama manusia, dan mengalami peristiwa yang disebutkan dalam bahasa Yunani sebagai “wahyu”, dimana Allah langsung memperlihatkan Diri-Nya melalui wajah sesama manusia. Wajah manusia mengatasi semua objek, mengatasi dunia fisis, dan menjadi sesuatu yang metafisis, sesuatu yang transenden. Wajah manusia menunjuk ke unsur “Yang lain” dengan huruf-huruf besar. Kalau saya melihat sesama manusia, saya pun diadili dari atas. Hubungan antara manusia dan sesama itu tidak simetris. Untuk sesama manusia, saya harus membuat lebih banyak daripada yang boleh saya minta dari dia. Terutama wajah manusia yang miskin, kecil, dan lemah ‘mengadili’ saya. Wajah manusia lain mewajibkan saya ke kebaikan dan keadilan. Dimana kebaikan dan keadilan itu berlaku sebagai perintah dari ‘atas’. Allah itu berlaku sebagai perintah dari ‘atas’. Allah itu Yang Tak Terkatakan, tapi dalam tuntutan-tuntutan etis, saya mengalami kehadiran-Nya.

Tentang hal transendensi, Lévinas (1991) melihatnya sebagai suatu kebutuhan untuk melarikan diri. Lévinas melihat 2 (dua) hal yang terus menjadi perbincangan metafisik sepanjang sejarah insan manusia, terutama abad pertengahan dan pencerahan, yaitu warisan pemikiran dari Immanuel Kant, dan fenomenologi Martin Heidegger yang telah menyemangatinya untuk melacak dunia yang nyata dan yang tersembunyi. Dengan kata lain, yang riil dan "tak berhingga". Ketika manusia melacak yang tersembunyi dan tak berhingga itu, maka dia memasuki “ranah transendensi” (Nindra Poller, 1996).

Martin Heidegger (1889-1976), filsuf Jerman, justru menolak konsep Allah dari metafisika. Sebab menurutnya, tidak terlihat kemungkinan untuk berbicara tentang Allah di situ. Sebaliknya dalam epistemologis, filsafat Heidegger dapat disebut sebagai agnostisis. Tetapi anehnya, justru Heidegger-lah yang sangat mempengaruhi teologi Kristiani dalam tahun-tahun terakhir.

Menurut Heidegger, konsep Allah dalam metafisika tradisional itu tidak cukup Ilahi, tidak cukup suci. Dalam metafisika dan teologi, Allah sering dibicarakan sebagai suatu “Pengada” diantara pengada-pengada yang lain. Tetapi hal ini keliru, sebab Allah itu bukan “Pengada” tetapi “Mengada”. Dalam hal ini, konsep “Mengada” begitu tinggi dan suci, sehingga tidak ada kata-kata lain yang dapat digunakan untuk bisa mengucapkan hal itu. Yang Ilahi itu “Mengada”. Relasi ‘Mengada’ dan manusia adalah seperti memberi dan ‘berterima kasih’. Manusia tidak harus berpikir tentang Allah, sebab manusia tidak dapat mengerti yang ilahi, dan sebaiknya dia tidak harus mencobanya. Jadi ‘berpikir’, ‘to think’ (denken) haruslah diganti dengan ‘berterima kasih’, ‘to thank’ (danken).

Selanjutnya Heidegger menyatakan bahwa “bahasa sendiri berbicara”. Kalimat singkat ini kemudian memiliki akar yang sangat kuat. Untuk kalimat “siapa berbicara jika dibicarakan?”, maka sekurang-kurangnya mengandung tiga jawaban, yaitu: (1) jawaban tradisi humanistis, (2) jawaban tradisi mistis, serta (3) jawaban dari tradisi logosentris (lihat Hamersma Harry, 2014:110-111).

Penjelasannya sebagai berikut.

Tradisi humanistis, memberikan jawaban yang paling biasa. Subjek bahasa itu manusia. Artinya, manusia itu pusat dunia, sejarah, berpikir, dan berbicara. Jika manusia tidak berpikir dan berbicara sendiri, dia (manusia) tidak bebas dan terasingkan dari dirinya sendiri.

Tradisi mistis, mengajarkan bahwa manusia harus mencari sifatnya diluar diri-nya sendiri. Manusia tidak harus berbicara, melainkan diam dan mendengar. Dalam hal ini, manusia harus menghilangkan dirinya sendiri dalam yang lain. Misalnya saja Rasul Paulus dalam Kitab Galatia 2:20 mengatakan: ”Bukan saya yang hidup, melainkan Kristus hidup di dalam saya”. Tetapi Spinoza mengatakan, “Kalau saya mengasihi seseorang, kasih itu adalah kasih Allah kepada Diri-Nya sendiri”, dan “Tindakan saya, adalah tindakan Allah”. Sama halnya dengan Max Scheler (1874-1928) mengatakan: “Manusia itu pesta pendek dalam evolusi hidup, dan sejarah manusia itu tertenun dalam proses perkembangan Allah sendiri”. Tradisi humanistik sering di tolak, tetapi ini tidak berarti bahwa tradisi mistik yang sering mempunyai perangai religius yang di pilih. Seringkali kedua-duanya di tolak, karena masih adanya kemungkinan ketiga, yaitu bahasa sendiri yang dipandang sebagai suatu subjek.

Tradisi Logosentris, berasal dari zaman prasokratis dalam kebudayaan Yunani sebelum tahun 500 SM. Tradisi ini terbentuk dari logos yaitu: kata dan bahasa. Dalam zaman ini, orang cenderung berpendapat bahwa pengarang-pengarang harus mendengarkan ‘Mousa’ yaitu keilahian yang memberi inspirasi. Heidegger berpendapat di sini bahwa ‘berbicara’ memang tidak terjadi oleh manusia. Bahasa yang berbicara, bukan manusia. Ada sesuatu yang lebih besar dari manusia yaitu bahasa. Jika manusia berbicara, dia terpaksa berbicara di dalam struktur-struktur bahasanya. Sebabnya, manusia ditangkap oleh bahasa.

Demikian halnya jika manusia itu berpikir, maka dia terpaksa akan berpikir dalam struktur-struktur dan kategori-kategori dari bahasanya. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Novalis (1772-1801) bahwa: “Bahasa melucu dengan manusia”. Sementara kata Mallarme, “Yang berbicara itu kata sendiri”. Sedangkan Lacan mengatakan bahwa, ”Subjek lebih dikatakan daripada berbicara sendiri” (Hamersma Harry, 2014: 111-112).

Oleh Abdy Busthan

Daftar Pustaka:
Busthan Abdy (2017). Kristus Versus tuhan-tuhan Postmo (Hlm. 53-57). Kupang: Desna Life Ministry
Komentar

Tampilkan

Terkini