Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

# Pendidikan

FALSE
FALSE
latest

Mengukur Kualitas Kasih Terhadap Sesama (Lukas 10:25-37)

Pengantar: Dari judul di atas, tampak bahwa ada alat ukur yang kita gunakan untuk mengukur kualitas kasih. Berbicara soal alat ukur, maka ya...



Pengantar:
Dari judul di atas, tampak bahwa ada alat ukur yang kita gunakan untuk mengukur kualitas kasih. Berbicara soal alat ukur, maka yang terpenting adalah ‘ketepatan’ dari alat ukur tersebut, bukan kebenaran dari alat ukur! Misalnya ada orang yang bertanya, “kemana kita harus membawa orang yang sakit?”, maka jawaban yang tepat adalah “Rumah sakit”. Mengapa? Karena di Rumah Sakit tersedia dokter, obat, dan petunjuk–petunjuk lainnya, yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: sakitnya apa? Apa penyebabnya? Meminum obat apa? Dan apa-apa lainnya.

Jadi, tepat pasti benar! Namun, yang benar belum tentu tepat! Misalnya, ketika seseorang mengukur panjang sebuah ruangan dengan menggunakan ukuran kakinya. Hal ini tentu saja bisa dibenarkan, tetapi ‘tidak tepat’. Karena jika orang tersebut mengukur ruangan dengan menggunakan panjang kakinya, maka ketika ada orang lain yang memiliki tinggi badan yang lebih tinggi atau lebih pendek dari orang yang mengukur tadi, maka akan didapatkan ukuran yang berbeda dari semula. Nah, inilah yang dimaksudkan “tidak tepat”. Karena yang tepat adalah menggunakan sebuah ‘meteran’. Sebab, dengan menggunakan meteran, ukurannya pasti tidak akan berubah sampai kapanpun juga. Karena itu, maka ketepatan adalah dasar dari kasih kita kepada sesama.

Nah, bagaimanakah saya dan saudara bisa mengetahui bahwa kita sudah “mengasihi” dengan tepat atau tidak? Sudah berkualitas atau tidak? Apa alat ukur yang tepat? Ada tiga alat ukur yang tepat, yang dapat kita temui dalam bacaan ini.

****************

Pertanyaan awal, mengapa kita harus mengasihi (melakukan kasih)? Kita mengasihi adalah untuk mendapatkan kehidupan kekal atau tetap hidup selama-lamanya (hidup yang tak berkesudahan) (ayat 25, dipertegas ayat 28).

Saudara, apakah saudara memiliki keinginan untuk tetap melangsungkan kehidupan di dunia fana ini? Saya pikir semua manusia yang hidup di muka bumi ini memiliki keinginan yang sama untuk tetap bertahan hidup. Artinya bahwa, semua yang kita kerjakan kemarin dan hari ini adalah untuk bertahan hidup. Kita semua bekerja atau melakukan activity adalah semata-mata untuk tetap melangsungkan kehidupan di dunia fana ini. Petani bekerja di sawah, Guru mengajar, TNI pergi berperang, bahkan Dokter mengobati pasiennya itu semua adalah untuk tetap bertahan hidup.

Saudara, namun apakah kita semua akan selalu bertahan hidup sesuai dengan keinginan kita itu??? Saudara, pada kenyataannya kehidupan setiap orang di dunia ini pasti akan berakhir. Tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup selama-lamanya di kehidupan fana ini. Dimana-mana, disetiap harinya kita melihat realitas kematian selalu datang dan hadir di sekeliling kita. Dan kita pun yang hadir saat ini tentu tidak luput bahkan tidak bisa menunda-nunda hari kematian jasmani itu tiba. Ini adalah kenyataan yang aksiomatis.

Tentunya, sebagai orang yang percaya kepada Kristus, kita tidak perlu takut dengan kematian jasmani ini. Sebab bacaan kita kali ini menunjukkan bahwa rupanya ada suatu “kehidupan kekal” yang sudah dipersiapkan Tuhan kepada setiap orang percaya (Lukas 10:25).

Pertanyaannya, bagaimana caranya agar kita memperoleh hidup kekal atau kehidupan yang tak akan berakhir itu? Hal yang pertama, bahwa ketika kita membicarakan “hidup kekal” atau hidup yang tak berujung dan tak berkesudahan adalah memulai segala sesuatunya dengan “Kasih” (ayat 27a). Artinya bahwa apapun yang nantinya kita perbuat dan kerjakan dalam kefanaan bumi ini adalah semata-mata dengan berlandaskan “kasih” .

Nah, apa itu kasih? Kasih adalah perbuatan, ia bukan teori. Artinya bahwa, kasih itu akan dapat terukur dan terlihat ketika ia hadir di dalam perbuatan nyata manusia (mengasihi).

Mari kita lihat bagaimana Alkitab menjelaskan tentang kasih. Alkitab tidak pernah mendefinisikan secara baku apa itu kasih, tetapi, Alkitab lebih memperlihatkan bagaimana cara kasih itu untuk “bekerja” (bertindak). Kasih itu tindakan yang diletakkan pada ‘realitas nyata’—terlihat dari ‘ketulusan’ ketika dikerjakan. Tidak dijelaskan, namun secara jelas tetap dinyatakan, yaitu bagaimana kasih Allah itu ‘bekerja’ dalam kapasitas nyata—secara nyata, sebagaimana kitab Yohanes 3:16 menyatakan...”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. Ayat ini adalah esensi dari kasih Kristus sejati. Dan merupakan dasar pijkan untuk memahami lebih jauh tentang makna kasih yang sesungguhnya

Saudara, di dunia ini banyak orang membutuhkan pengasihan dari sesama. Disekeliling kita bahkan diri kita sendiri pun terlalu membutuhkan ‘pengasihan’ dalam bahasa Kupang: “talalu kasihan”. Karenanya, tak ada sorang pun yang sombong mengatakan bahwa dia tak membutuhkan sesamanya manusia (Atasan butuh pengasihan bawahannya, begitupun sebaliknya. Bapak-bapak butuh pengasihan ibu dan anak, begitupun sebaliknya). Ya, tanpa pengasihan dan tanpa mengasihi, kita tak mungkin bisa hidup berdampingan dengan orang lain. Itu sebabnya, banyak orang muncul dan meneriakkan slogan tentang ‘mengasihi’: Saya selalu mengasihi dia; Saya sudah melakukan kasih; Saya adalah orang yang mengasihi sesama saya….dan lain-lainnya. Lalu apakah benar kita semua sudah mengasihi? Apakah kita sudah melakukan kasih di dalam kehidupan ini? Mari kita mengukur perbuatan kasih itu dengan “alat ukur” yang tepat berdasarkan kebenaran Firman Tuhan dalam Lukas 10;25-37 yang telah kita baca bersama-sama.

Dalam ayat 27, ada tiga alat ukur, yaitu: afektif, psikomotorik dan kognitif. Ketiga hal ini sekaligus berfungsi sebagai hierarki atau tingkatan dalam mengimplementasikan kasih (Kita tidak bisa melakukan tingkatan kedua, tanpa terlebih dulu melakukan tingkatan pertama).

Pertama. Kasih dimulai dari dan oleh segenap hati dan segenap jiwa (afektif). Disini “segenap hati” (lêbâb/rûach/ kardia) adalah bagian dalam diri manusia yang bukan materi (yang terdalam), yang tidak terkait dengan materi (tubuh) manusia, Begitupun “segenap jiwa” (nephesh) merupakan roh dari jiwa. Istilah ini berkaitan dengan roh kehidupan atau nyawa manusia. Kedua tempat ini tidak terlihat (transenden). Keduanya melampaui tubuh jasmani kita. Karena keduanya adalah sumber kehidupan manusia. Kehidupan manusia bermula bahkan berakhir dari kedua organ ini. Inilah pusat kehidupan kita. Didalamnya ada nyawa, kehendak, naluri, perasaan dan lain-lain, yang berhubungan dengan aktivitas kita sebagai manusia yang segambar dan serupa dengan Allah. Kita pun memfungsikan semua indera kita mulai dari kedua benda ini (hati dan jiwa). Tangan kita tak mungkin mengambil sesuatu jika hati dan perasaan serta jiwa kita tidak menginginkannya.

Saudara, banyak orang secara kasat mata mungkin sudah melakukan perbuatan baik seperti: menolong sesama ketika kesusahan, memberikan tumpangan, meminjamkan uang kepada yang membutuhkan, atau mengajarkan hal-hal baik kepada sesama, dan lain sebagainya. Namun apakah itu kita lakukan sungguh-sungguh dari hati? Hanya saudara dan Tuhan saja yang tahu. Di alam realitas ini bahkan bentuk perbuatan baik pun bisa di kamuflasekan (dipalsukan). Ya, banyak orang mudah tertipu dengan perkataan dan perbuataan yang tampak baik namun jauh di dasar hati penuh dengan kelicikan, dendam dan kepentingan-kepentingan pribadi. Jika saja hati kita bisa di baca melalui perbuatan dan perkataan, tentu saja di dunia ini tak ada satu orangpun yang akan merasakan kekecewaan, kepahitan dan lain-lain. (kecewa karna janji-janji palsu, kecewa karna tang budi, utang jasa dan lain-lain).

Bagaimanakah saya dan saudara bisa mengetahui bahwa kita sudah mengasihi dengan tepat atau tidak? Jawabannya adalah ketika segala hal kita awali segenap hati dan jiwa. Jika tidak, dengan segenap hati dan jiwa, maka jangan klaim bahwa kita sudah melakukan kasih! Dengan hati, kita mampu mengasihi sesama kita, dengan hati kita mampu berkorban, dengan kasih kita pun mampu memaafkan!

Kedua. Ketika Kasih sudah dimulai dari dan oleh segenap hati dan segenap jiwa, maka Kasih itu akan nampak dalam perbuatan (psikomotorik). Dalam bahasa Ibrani adalah “ischus” yaitu seluruh kekuatan fisik. Mengapa benda ini berada pada tingkatan kedua? Bukan pertama? Karena seperti ditegaskan diatas bahwa banyak perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan kasih. Akibatnya banyak kemunafikan, tipu daya, dan kepalsuan. Lain di bibir, lain di hati! Perbuatan yang tulus itu membutuhkan tuntunan hati dan jiwa. Jangan bicara tentang ketulusan sebuah cinta, jika pada akhirnya nanti ia berpaling ke lain hati. Kualitas perbuatan baik kita akan sia-sia adanya jika kita mengesampingkan tingkatan pertama: hati dan jiwa. Apapun yang nantinya kita lakukan melalui perbuatan kita, hendaklah itu murni dari lubuk hati kita yang paling dalam.

Bagaimanakah saya dan saudara bisa mengetahui bahwa kita sudah mengasihi dengan tepat atau tidak? Jawabannya adalah ketika perbuatan kita dilakukan berdasarkan segenap hati dan jiwa.

Ketiga. Ketika Kasih dimulai segenap hati dan segenap jiwa, serta nampak dalam perbuatan, maka pikiran kita akan memikirkan hal-hal yang berkenan (kognitif). Dalam bahasa Ibrani adalah “dianoia” atau akal budi dan semua hal yang berhubungan dengan rasio dan organ-organ akal budi manusia. Saudara, banyak sekali orang pintar di bumi ini. Tapi apakah mereka menggunakan hati? Saudara, kita boleh memiliki pengetahuan dan kepintaran serta IQ setinggi mungkin. Tapi jika kepintaran itu tidak didasarkan pada hati, maka semuanya itu akan sia-sia. Wiliams James Zidis seorang ilmuan berdarah Yahudi yang menduduki manusia paling jenius di dunia dengan IQ seputaran 270 an, dan memiliki kepintaran yang sangat luar biasa, namun pada akhir hidupnya ia sendiri tidak memiliki teman, dan terlihat seperti orang gila, ia terasing di pemukiman kumuh dan sering ditemukan orang tergeletak di tempat-tempat sampah. Sungguh fenomena ini menggambarkan bahwa kepintaran saja tidak cukup untuk membuat kita hidup baik. Kejeniusan juga tidak cukup untuk mengantarkan kecerdasan sang Profesor Fisika Stepen Hawkins untuk menyempurnakan teori “black hole” yang sempat menggegerkan jagad ini. Ya, Albert Einstein pada akhir hidupnya ia pun menyimpulkan bahwa kejeniusan adalah soal hati!

Nah, bagaimanakah saya dan saudara bisa mengetahui bahwa kita sudah mengasihi dengan tepat atau tidak? Jawabannya adalah ketika pikiran dan perbuatan kita sinkron dengan hati dan jiwa kita.

Kasih dalam Konteks Pendidikan
Saudara, lalu bagaimana dengan konteks pendidikan? Dasar pendidikan karakter berasal dari ajaran Yesus dalam bacaan kita ini! Seorang ahli pendidikan, Hendrik G Howard pernah berkata: “Pembelajaran yang paling berdampak adalah bukan dari tangan ke tangan, kepala ke kepala, bukan pula dari kaki ke kaki, tapi dari hati ke hati”. Ya, ungkapan ini haruslah menjadi acuan untuk mendidik anak-anak kita. Dengan hati, kita mampu memaafkan kesalahan terbesar orang lain terhadap kita. Ya, otak atau rasio bahkan kekuatan Anda tidak akan pernah mampu memaafkan! Hanya hati yang mengasihilah yang mampu melakukan itu!

Saudara, dalam pendidikan, kita akan mampu mengasihi siswa/i hanya dengan segenap hati. Dan dengan hati kita pun bisa mengerti kekurangan bahkan kelebihan dari siswa/i kita, dengan hati kita juga mampu membimbing dan menyatu dengan dunia anak-anak! Ingat bahwa kebijaksanaan sejati hanya berlandaskan pada segenap hati dan segenap jiwa. Ya kita tidak mungkin mampu memecahkan persoalan-persoalan seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Salomo, tanpa kita menggunakan hikmat yang bertumpu dari hati nurani kita.

Oleh: Abdy Busthan

Tidak ada komentar