Kebebasan ada ketika ada perbuatan. Kebebasan dalam hal ini mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Karena bebas, maka seseorang akan ber...
Kebebasan ada ketika ada perbuatan. Kebebasan dalam hal ini mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Karena bebas, maka seseorang akan berbuat—bertindak. Artinya, “action” (perbuatan) akan menentukan bagaimana kebebasan itu di dapatkan. Jika demikian, maka perbuatan seseorang adalah kebebasan itu sendiri. Bagaimana seseorang berbuat, bagaimana seseorang bertindak dan bagaimana seseorang nantinya berpikir, akan selalu menghasilkan prinsip-prinsip bagaimana seseorang itu bebas dalam alam kebebasannya.
Jika seseorang salah dalam menempatkan perbuatannya, maka akan salah pula kebebasan yang dimilikinya, sebaliknya jika seseorang benar dalam menempatkan perbuatannya, maka akan benar pula kebebasan yang nantinya ia miliki.
Lee Strobel, salah satu aktivis gereja yang juga pendeta dan pengajar di California, pada suatu waktu melakukan wawancaranya dengan profesor filsafat non-Kristen Protestan, Peter Kreeft (Strobel, dalam “The Case For Faith”. Edisi terjemahan: “Pembuktian Atas Kebenaran Iman Kristiani”, hlm. 44-45).
Dalam pembicaraan mereka yang panjang tentang term logika mengenai atribut ke-Mahakuasaan Allah, profesor Kreeft berkata:
“Sekarang, pembelaan yang klasik terhadap masalah kejahatan adalah bahwa secara logis tidak mungkin memiliki kebebasan menetapkan kehendak sendiri tanpa kemungkinan adanya kejahatan moral. Dengan kata lain, setelah Allah memutuskan untuk menciptakan umat manusia dengan kebebasan menetapkan kehendak atau kebebasan memilih, maka semuanya terserah kepada mereka, bukan lagi kepada Allah, apakah mereka mau berbuat dosa atau tidak. Itu artinya, bahwa Allah memberikan kebebasan memilih. Dengan situasi tersebut, maka Allah memutuskan untuk menciptakan manusia dengan kemungkinan terjadinya kejahatan, dan konsekuensinya, penderitaanlah yang menjadi akibatnya”.
Mendengar penjelasan profesor tersebut, Strobel pun berucap,..“Jika demikian maka Allah telah menciptakan kejahatan?”.
Dengan tenang profesor menjawab, “Bukan, Dia menciptakan kemungkinan terjadinya kejahatan, dan orang-orang kemudian mengaktualisasikan potensi itu. Sumber kejahatan itu bukan kuasa Allah, melainkan apa yang disebut “kebebasan” manusia. Dan dalam pengertiannya sendiri, kebebasan bahkan mencakup juga kemungkinan berbuat dosa”.
Ya, pembicaraan seperti ini memang sering terjadi sepanjang peradaban kehidupan insan manusia sebagai makhluk pencari kebebasan, tetapi sekaligus juga penghancur kebebasan. Albert Camus, seorang sastrawan Perancis juga memberikan pandangannya tentang kebebasan tersebut. Kebebasan menurut Camus bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, tetapi lebih merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Camus menegaskan bahwa dalam rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif sekalipun, tidak akan dapat diperoleh sebuah kebebasan secara cuma-cuma. Karena itu, “krisis adalah kebebasan”. Demikian dipertegas Camus dalam karyanya (Camus, 2013).
Apa itu kebebasan? Sedemikian sulitkah kebebasan itu didapatkan? Sehingga sang sastrawan legendaris sekelas Camus justru menyatakannya dengan suatu krisis kebebasan?
Untuk mengkonsepsikan kebebasan pada taraf yang lebih sederhana, menarik untuk melihat bagaimana pendapat seorang Bertens berikut ini:
“Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita semua. Dalam hidup setiap orang, kebebasan adalah unsur hakiki. Kita semua mengalami kebebasan, justru karena kita manusia. Kesulitannya baru mulai, bila kita mengungkapkan pengalaman itu pada tahap refleksi” (Bertens, 2013:73-74).
Gambaran kebebasan yang dinyatakan oleh Bertens tersebut, kemudian dibedakannya lagi ke dalam dua bagian, yaitu 1) Kebebasan Sosial-politik, dimana yang disebut bebas di sini adalah suatu bangsa atau rakyat; dan 2) Kebebasan Individual, yaitu bahwa dengan subyek kebebasannya adalah manusia perorangan.
Menyimak apa yang menjadi penekanan Bertens ini, timbul lagi beberapa pertanyaan terkait makna akan kebebasan tersebut: Apakah manusia itu bebas? Apa yang akan terjadi jika ia bebas? Mampukah kebebasan itu membebaskannya
Satu hal yang pasti, apabila manusia itu bebas, maka di dalam dan oleh dirinya sendiri, manusia setidaknya dapat sepenuhnya menentukan “summum bonum” yang melekat sebagai progeni kemanusiaannya.
Tentunya, manusia secara bebas dapat mencari dan menentukan batas-batas kebebasan untuk dirinya sendiri, yang dapat menjadi simbol bagi kesempurnaan dalam wujud ‘kebajikan’, serta dapat pula memastikan pertanggungjawaban atas apa saja yang menjadi pilihannya itu. Artinya bahwa, akhir dari sebuah kebebasan adalah ketidak-bebasan atau keterikatan seseorang terhadap apa yang telah di pilihnya sebagai suatu ‘nilai’.
Meminjam sepenggal ungkapan Jean–Paul Sartre...”we are condemned for to be free..“, artinya, “kita di hukum untuk hidup kekal atau kita ditakdirkan untuk bertindak bebas” (Bertens, 2013:93).
Dalam ungkapan Sartre ini, setidaknya mengandung makna bahwa manusia ‘tidak bebas’ untuk bertindak ‘bebas’ atau ‘tidak’. Artinya kebebasan merupakan nasib setiap manusia yang tidak mungkin dapat di hindari. Bahwa secara aksiomatis—mau atau tidak mau—manusia memang hidup dalam peranannya sebagai insan kehidupan yang bebas. Sehingga, tidak ada batas lain untuk menempatkan ukuran kebebasan seorang insan manusia daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Lebih jauh lagi, ditegaskan kembali oleh Sartre, bahwa manusia harus menghidupi kebebasannya dan bukan ‘menghindarinya’. Karenanya, kebebasan itu harus selalu di aktifkan. Sartre disini justru menyatakan dengan gamblang, bahwa hanya manusialah yang memiliki kemampuan sebagai makluk yang berada!
Karena itu, manusia harus bertanggungjawab atas kebebasannya sendiri. Kemudian lebih ekstrim lagi Sartre menegaskan bahwa, “Kalau ada Allah, manusia tidak lagi bertanggung jawab, jadi hidupnya kosong dan justru seenaknya. Demi kesungguhan akan tanggung jawab manusia, tak mungkin ada Allah”. (Suseno Magnis Franz; dalam Wibowo & Driyarkara 2011:7).
“Ada nyata manusia mendahului segala macam penteorian tentangnya; eksistensi mendahului esensi; eksistensi adalah kontingensi; manusia adalah kebebasan” (Wibowo Setyo, 2011:13).
Demikian seorang Sartre menggagas pemikiran paradoksalnya tentang kebebasan. Sartre memang sangat terkenal dengan pemikiran “eksistensialis” yang paling ekstrim dalam mendewakan kebebasan. Sartre mengungkapkan bahwa tidak ada batas lain untuk kebebasan daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Meskipun banyak filsuf yang menilai bahwa pendapat Sartre tersebut terlalu ekstrim, namun lebih ditegaskan lagi oleh Sartre bahwa kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Karena kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya.
Sebab eksistensi manusia bergantung pada diri manusia sendiri, maka manusia sendirilah yang merupakan pengendali atas dirinya sendiri. Sehingga manusia adalah penentu satu-satunya bagi dirinya dalam mengambil setiap keputusan yang ada.
Di satu sisi, pandangan Sartre ini memang memberikan hal yang positif pada setiap manusia. Artinya, Sartre membuka sebuah ruang untuk suatu gagasan yang membuat manusia tidak takut lagi dalam mengambil keputusan dalam hidupnya, karena keputusan finalnya hanya ada pada diri manusia sendiri. Apapun pilihan yang diambil oleh setiap manusia mengandaikan adanya sebuah tempat untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Dari gagasan Sartre tentang kebebasan ini, setidaknya dapat ditarik 3 (tiga) hal penting terkait antara hubungan manusia dan kebebasannya,
Pertama, kebebasan pada prinsipnya tidak berarti lepas dari segala “keterikatan”. Sebab terdapat pula pembatasan penting bagi kebebasan tersebut. Diantaranya: faktor-faktor dari dalam manusia itu sendiri, baik psikis maupun fisik, dalam artian bahwa manusia selalu dibatasi oleh natur-natur, yaitu semua yang manusia miliki secara alami. Namun natur juga meliputi semua faktor yang ditambah pada natur seperti pendidikan, asuhan, asupan makanan, dsb. Disamping itu juga, manusia akan selalu dibatasi dengan lingkungan serta kebebasan orang lain dan generasi manusia mendatang.
Kedua, kebebasan sendiri sebenarnya tumbuh dengan tanggung jawab. Artinya, kebebasan menjadikan manusia mempertimbangkan segala sesuatu, baik mengenai hasil, maupun dampak dari keputusan dan perbuatannya. Hal tersebut sebenarnya memuat rasa tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain serta lingkungannya.
Ketiga, seharusnya makin bertanggungjawabnya manusia, maka makin bertambah juga kebebasan manusia tersebut, dan makin bebas manusia dalam kebebasannya, maka makin bertanggungjawab pula manusia dalam tanggungjawabnya. Tentu saja, pemikiran orang yang berpandangan bahwa apabila ia bertanggungjawab maka akan hilang kebebasannya, adalah suatu pemikiran yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan itu sendiri. Justru sebenarnya, ketika manusia menolak bertanggungjawab, maka ia bukannya menjadi lebih bebas. Kebebasan eksistensialnya justru semakin melemah. Sebaliknya, orang yang bersedia untuk bertanggungjawab, maka akan semakin kuat dan bebas, serta semakin luas pula wawasan yang dimilikinya.
Selanjutnya, seorang David Caute muncul dan merumuskan kembali pandangan Sartre ini, dengan rumusan bahwa..“Untuk menjadi purna, kebebasan satu orang manusia, bergantung pada kebebasan orang lain, pada penciptaan masyarakat yang telah di bebaskan dari eksploitasi dan penindasan” (Wibowo & Majalah Driyarkara, 2011:95).
Dari rumusan ini, sejatinya kebebasan merupakan sesuatu yang selalu sinkron dengan tatanan kehidupan bersama. Karena itu, dalam membebaskan kebebasan yang sesungguhnya bebas, maka seseorang juga harus membebaskan kebebasan sesamanya untuk menjadi kebersamaan dalam kebebasan yang sesungguhnya bebas tersebut. Karena tanpa kebebasan orang lain, maka seseorang akan terkungkung dalam kebebasannya yang sesungguhnya tidak bebas.
Lebih sederhana, bahwa kebebasan seseorang adalah harmonisasi yang terkontrol dalam pranata kehidupan bersama. Hal ini jelas menggambarkan sebuah konsep kebebasan yang sesungguhnya dijalankan dalam batasan-batasan moral yang terimplementasikan dari ‘perbuatan’ seseorang dalam hal untuk menjaga, menjalin, memelihara serta membina hubungan yang baik dengan sesamanya.
Senada dengan itu, Kattsoff dalam bukunya “Elements Of Philosophy” (2004:392), menyatakan bahwa ketika sebuah ‘kebebasan’ mulai dipersoalkan, maka pada tempat pertama, konsep dimana manusia itu “berbuat” atau “perbuatan” yang dilakukan oleh manusia tersebut hendaknya di letakkan pada bagian pertama yang dapat dijadikan tolak ukur dalam memulai petualangan seseorang akan penalarannya terhadap kebebasan.
Perbuatan di sini merupakan dasar dari apa yang dilakukan manusia, serta hasil dari keadaan yang sudah ada sebelumnya, maupun merupakan hasil pilihan dengan cara tertentu. Sebab dalam hubungannya dengan manusia, kebebasan memiliki hubungan erat dengan dua hal sekaligus, yaitu ‘perbuatan’ dan ‘pilihan’. Dalam prinsip ini, perbuatan menentukan pilihan dan pilihan menentukan perbuatan.
Sebagaimana manusia dalam kebebasannya mampu membuka peluang bagi keleluasaan diri dalam mencari serta menentukan bentuk tindakan-tindakan moral yang bisa saja terbebas dari kekuatan-kekuatan yang mengganggu optimalisasi upayanya untuk meraih kebahagiaan hakiki—yang sebenarnya juga diinginkan oleh setiap manusia, karena di dalamnya memiliki budi pekerti—akal budi, yang tentunya menempatkan peranan ‘rasio’ dalam mengambil keputusan-keputusan moral, sehingga moralitas akan terlepas dari unsur rasionalitas—dan oleh karenanya, sebuah kebebasan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Artinya, bahwa dialek antara kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya, semestinya dilandasi pula oleh keyakinan dasar bahwa norma merupakan seperangkat aturan—pengaturan yang mengarahkan manusia tersebut menjadi “bebas yang bermoral”.
Dalam hal keterikatannya dengan sebuah norma tersebut, keniscayaan manusia memiliki kebebasan untuk menerima atau tidak menerima suatu norma. Karena norma tidak mengikat dan memaksa manusia untuk melakukannya.
Tetapi yang pasti, norma tetap memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih dan memutuskan tindakannya sendiri. Hanya saja, karena sifatnya yang ‘bajik’—yang berisi nilai-nilai kebajikan—tentunya manusia yang terbebas dari penindasan dorongan hawa nafsunya akan tetap memberikan keputusan untuk menerimanya sebagai sebuah ajaran, yang faktual penalarannya di realisasikan dalam bentuk tindakan nyata yang bermoral.
Dengan demikian, maka vertues akan menjadi bukti nyata dari kebebasan manusia dalam menentukan humanity atau kemanusiaannya sendiri. Dalam penentuannya ini, akan selalu di tandai dengan upaya untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman hawa nafsu dan kedagingan yang kecenderungannya justru mengarah pada kebahagiaan-kebahagiaan material, yang hanya bersifat sementara. Inilah kebebasan bermoral tersebut.
Oleh: Abdy Busthan
Dengan tenang profesor menjawab, “Bukan, Dia menciptakan kemungkinan terjadinya kejahatan, dan orang-orang kemudian mengaktualisasikan potensi itu. Sumber kejahatan itu bukan kuasa Allah, melainkan apa yang disebut “kebebasan” manusia. Dan dalam pengertiannya sendiri, kebebasan bahkan mencakup juga kemungkinan berbuat dosa”.
Ya, pembicaraan seperti ini memang sering terjadi sepanjang peradaban kehidupan insan manusia sebagai makhluk pencari kebebasan, tetapi sekaligus juga penghancur kebebasan. Albert Camus, seorang sastrawan Perancis juga memberikan pandangannya tentang kebebasan tersebut. Kebebasan menurut Camus bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, tetapi lebih merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Camus menegaskan bahwa dalam rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif sekalipun, tidak akan dapat diperoleh sebuah kebebasan secara cuma-cuma. Karena itu, “krisis adalah kebebasan”. Demikian dipertegas Camus dalam karyanya (Camus, 2013).
Apa itu kebebasan? Sedemikian sulitkah kebebasan itu didapatkan? Sehingga sang sastrawan legendaris sekelas Camus justru menyatakannya dengan suatu krisis kebebasan?
Untuk mengkonsepsikan kebebasan pada taraf yang lebih sederhana, menarik untuk melihat bagaimana pendapat seorang Bertens berikut ini:
“Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita semua. Dalam hidup setiap orang, kebebasan adalah unsur hakiki. Kita semua mengalami kebebasan, justru karena kita manusia. Kesulitannya baru mulai, bila kita mengungkapkan pengalaman itu pada tahap refleksi” (Bertens, 2013:73-74).
Gambaran kebebasan yang dinyatakan oleh Bertens tersebut, kemudian dibedakannya lagi ke dalam dua bagian, yaitu 1) Kebebasan Sosial-politik, dimana yang disebut bebas di sini adalah suatu bangsa atau rakyat; dan 2) Kebebasan Individual, yaitu bahwa dengan subyek kebebasannya adalah manusia perorangan.
Menyimak apa yang menjadi penekanan Bertens ini, timbul lagi beberapa pertanyaan terkait makna akan kebebasan tersebut: Apakah manusia itu bebas? Apa yang akan terjadi jika ia bebas? Mampukah kebebasan itu membebaskannya
Satu hal yang pasti, apabila manusia itu bebas, maka di dalam dan oleh dirinya sendiri, manusia setidaknya dapat sepenuhnya menentukan “summum bonum” yang melekat sebagai progeni kemanusiaannya.
Tentunya, manusia secara bebas dapat mencari dan menentukan batas-batas kebebasan untuk dirinya sendiri, yang dapat menjadi simbol bagi kesempurnaan dalam wujud ‘kebajikan’, serta dapat pula memastikan pertanggungjawaban atas apa saja yang menjadi pilihannya itu. Artinya bahwa, akhir dari sebuah kebebasan adalah ketidak-bebasan atau keterikatan seseorang terhadap apa yang telah di pilihnya sebagai suatu ‘nilai’.
Meminjam sepenggal ungkapan Jean–Paul Sartre...”we are condemned for to be free..“, artinya, “kita di hukum untuk hidup kekal atau kita ditakdirkan untuk bertindak bebas” (Bertens, 2013:93).
Dalam ungkapan Sartre ini, setidaknya mengandung makna bahwa manusia ‘tidak bebas’ untuk bertindak ‘bebas’ atau ‘tidak’. Artinya kebebasan merupakan nasib setiap manusia yang tidak mungkin dapat di hindari. Bahwa secara aksiomatis—mau atau tidak mau—manusia memang hidup dalam peranannya sebagai insan kehidupan yang bebas. Sehingga, tidak ada batas lain untuk menempatkan ukuran kebebasan seorang insan manusia daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Lebih jauh lagi, ditegaskan kembali oleh Sartre, bahwa manusia harus menghidupi kebebasannya dan bukan ‘menghindarinya’. Karenanya, kebebasan itu harus selalu di aktifkan. Sartre disini justru menyatakan dengan gamblang, bahwa hanya manusialah yang memiliki kemampuan sebagai makluk yang berada!
Karena itu, manusia harus bertanggungjawab atas kebebasannya sendiri. Kemudian lebih ekstrim lagi Sartre menegaskan bahwa, “Kalau ada Allah, manusia tidak lagi bertanggung jawab, jadi hidupnya kosong dan justru seenaknya. Demi kesungguhan akan tanggung jawab manusia, tak mungkin ada Allah”. (Suseno Magnis Franz; dalam Wibowo & Driyarkara 2011:7).
“Ada nyata manusia mendahului segala macam penteorian tentangnya; eksistensi mendahului esensi; eksistensi adalah kontingensi; manusia adalah kebebasan” (Wibowo Setyo, 2011:13).
Demikian seorang Sartre menggagas pemikiran paradoksalnya tentang kebebasan. Sartre memang sangat terkenal dengan pemikiran “eksistensialis” yang paling ekstrim dalam mendewakan kebebasan. Sartre mengungkapkan bahwa tidak ada batas lain untuk kebebasan daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Meskipun banyak filsuf yang menilai bahwa pendapat Sartre tersebut terlalu ekstrim, namun lebih ditegaskan lagi oleh Sartre bahwa kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Karena kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya.
Sebab eksistensi manusia bergantung pada diri manusia sendiri, maka manusia sendirilah yang merupakan pengendali atas dirinya sendiri. Sehingga manusia adalah penentu satu-satunya bagi dirinya dalam mengambil setiap keputusan yang ada.
Di satu sisi, pandangan Sartre ini memang memberikan hal yang positif pada setiap manusia. Artinya, Sartre membuka sebuah ruang untuk suatu gagasan yang membuat manusia tidak takut lagi dalam mengambil keputusan dalam hidupnya, karena keputusan finalnya hanya ada pada diri manusia sendiri. Apapun pilihan yang diambil oleh setiap manusia mengandaikan adanya sebuah tempat untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Dari gagasan Sartre tentang kebebasan ini, setidaknya dapat ditarik 3 (tiga) hal penting terkait antara hubungan manusia dan kebebasannya,
Pertama, kebebasan pada prinsipnya tidak berarti lepas dari segala “keterikatan”. Sebab terdapat pula pembatasan penting bagi kebebasan tersebut. Diantaranya: faktor-faktor dari dalam manusia itu sendiri, baik psikis maupun fisik, dalam artian bahwa manusia selalu dibatasi oleh natur-natur, yaitu semua yang manusia miliki secara alami. Namun natur juga meliputi semua faktor yang ditambah pada natur seperti pendidikan, asuhan, asupan makanan, dsb. Disamping itu juga, manusia akan selalu dibatasi dengan lingkungan serta kebebasan orang lain dan generasi manusia mendatang.
Kedua, kebebasan sendiri sebenarnya tumbuh dengan tanggung jawab. Artinya, kebebasan menjadikan manusia mempertimbangkan segala sesuatu, baik mengenai hasil, maupun dampak dari keputusan dan perbuatannya. Hal tersebut sebenarnya memuat rasa tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain serta lingkungannya.
Ketiga, seharusnya makin bertanggungjawabnya manusia, maka makin bertambah juga kebebasan manusia tersebut, dan makin bebas manusia dalam kebebasannya, maka makin bertanggungjawab pula manusia dalam tanggungjawabnya. Tentu saja, pemikiran orang yang berpandangan bahwa apabila ia bertanggungjawab maka akan hilang kebebasannya, adalah suatu pemikiran yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan itu sendiri. Justru sebenarnya, ketika manusia menolak bertanggungjawab, maka ia bukannya menjadi lebih bebas. Kebebasan eksistensialnya justru semakin melemah. Sebaliknya, orang yang bersedia untuk bertanggungjawab, maka akan semakin kuat dan bebas, serta semakin luas pula wawasan yang dimilikinya.
Selanjutnya, seorang David Caute muncul dan merumuskan kembali pandangan Sartre ini, dengan rumusan bahwa..“Untuk menjadi purna, kebebasan satu orang manusia, bergantung pada kebebasan orang lain, pada penciptaan masyarakat yang telah di bebaskan dari eksploitasi dan penindasan” (Wibowo & Majalah Driyarkara, 2011:95).
Dari rumusan ini, sejatinya kebebasan merupakan sesuatu yang selalu sinkron dengan tatanan kehidupan bersama. Karena itu, dalam membebaskan kebebasan yang sesungguhnya bebas, maka seseorang juga harus membebaskan kebebasan sesamanya untuk menjadi kebersamaan dalam kebebasan yang sesungguhnya bebas tersebut. Karena tanpa kebebasan orang lain, maka seseorang akan terkungkung dalam kebebasannya yang sesungguhnya tidak bebas.
Lebih sederhana, bahwa kebebasan seseorang adalah harmonisasi yang terkontrol dalam pranata kehidupan bersama. Hal ini jelas menggambarkan sebuah konsep kebebasan yang sesungguhnya dijalankan dalam batasan-batasan moral yang terimplementasikan dari ‘perbuatan’ seseorang dalam hal untuk menjaga, menjalin, memelihara serta membina hubungan yang baik dengan sesamanya.
Senada dengan itu, Kattsoff dalam bukunya “Elements Of Philosophy” (2004:392), menyatakan bahwa ketika sebuah ‘kebebasan’ mulai dipersoalkan, maka pada tempat pertama, konsep dimana manusia itu “berbuat” atau “perbuatan” yang dilakukan oleh manusia tersebut hendaknya di letakkan pada bagian pertama yang dapat dijadikan tolak ukur dalam memulai petualangan seseorang akan penalarannya terhadap kebebasan.
Perbuatan di sini merupakan dasar dari apa yang dilakukan manusia, serta hasil dari keadaan yang sudah ada sebelumnya, maupun merupakan hasil pilihan dengan cara tertentu. Sebab dalam hubungannya dengan manusia, kebebasan memiliki hubungan erat dengan dua hal sekaligus, yaitu ‘perbuatan’ dan ‘pilihan’. Dalam prinsip ini, perbuatan menentukan pilihan dan pilihan menentukan perbuatan.
Sebagaimana manusia dalam kebebasannya mampu membuka peluang bagi keleluasaan diri dalam mencari serta menentukan bentuk tindakan-tindakan moral yang bisa saja terbebas dari kekuatan-kekuatan yang mengganggu optimalisasi upayanya untuk meraih kebahagiaan hakiki—yang sebenarnya juga diinginkan oleh setiap manusia, karena di dalamnya memiliki budi pekerti—akal budi, yang tentunya menempatkan peranan ‘rasio’ dalam mengambil keputusan-keputusan moral, sehingga moralitas akan terlepas dari unsur rasionalitas—dan oleh karenanya, sebuah kebebasan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Artinya, bahwa dialek antara kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya, semestinya dilandasi pula oleh keyakinan dasar bahwa norma merupakan seperangkat aturan—pengaturan yang mengarahkan manusia tersebut menjadi “bebas yang bermoral”.
Dalam hal keterikatannya dengan sebuah norma tersebut, keniscayaan manusia memiliki kebebasan untuk menerima atau tidak menerima suatu norma. Karena norma tidak mengikat dan memaksa manusia untuk melakukannya.
Tetapi yang pasti, norma tetap memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih dan memutuskan tindakannya sendiri. Hanya saja, karena sifatnya yang ‘bajik’—yang berisi nilai-nilai kebajikan—tentunya manusia yang terbebas dari penindasan dorongan hawa nafsunya akan tetap memberikan keputusan untuk menerimanya sebagai sebuah ajaran, yang faktual penalarannya di realisasikan dalam bentuk tindakan nyata yang bermoral.
Dengan demikian, maka vertues akan menjadi bukti nyata dari kebebasan manusia dalam menentukan humanity atau kemanusiaannya sendiri. Dalam penentuannya ini, akan selalu di tandai dengan upaya untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman hawa nafsu dan kedagingan yang kecenderungannya justru mengarah pada kebahagiaan-kebahagiaan material, yang hanya bersifat sementara. Inilah kebebasan bermoral tersebut.
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar