Kata “iman” (pistis, noun) dan kata “percaya” (pisteuÔ, verb), adalah dua kata yang bersinonim. Tetapi yang satu merupakan hal yang dipunyai...
Kata “iman” (pistis, noun) dan kata “percaya” (pisteuÔ, verb), adalah dua kata yang bersinonim. Tetapi yang satu merupakan hal yang dipunyai "noun", sedangkan yang satunya lagi merupakan tindakannya "percaya”. Perbedaannya, bukanlah pada kata "iman" dan "percaya". Tetapi yang membedakannya hanya terletak pada “kadar” Iman (kepercayaan)-nya. Artinya, ada iman yang besar, ada iman yang kecil.
Namun dalam perkembangannya, muncul perbedaan konsep, yaitu konsep "dewasa dalam iman" dan konsep "iman yang masih kanak-kanak". Ketika Yesus merujuk pada kalimat: "Hai ibu, besar imanmu," maka sebenarnya Dia sedang merujuk "noun" yaitu sesuatu yang dipunyai ibu ini sebagai akibat dari tindakan percayanya. Dan Yesus juga pernah merujuk pada kalimat "iman sebiji sesawi", yang merujuk kepada "noun" yaitu sesuatu yang dipunyai.
Perhatikan ayat ini:
"Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati." (Yakobus 2:26).
Dalam konteks ayat diatas, "percaya" adalah "verb" yang merupakan tindakan aktif, yaitu melakukan atau bertindak berdasarkan iman yang ada dalam hati seseorang, sama seperti dikatakan dalam Alkitab bahwa percaya berarti ada tindakan dari iman.
Sebagaimana Rasul Paulus menegaskan bahwa, "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Dalam konteks ini, iman bisa saja timbul dalam diri seseorang, saat ia mendengar firman kebenaran Kristus. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga kalangan yang mendengarkan firman namun tidak banyak dari antara mereka yang menjadi percaya.
Jadi, iman dan percaya adalah dua istilah yang selalu bersama-sama. Dimana iman dipunyai atau dimiliki seseorang oleh karena tindakan percaya. Mungkin manusia terbiasa hidup dengan melihat, bukan hidup karena percaya. Namun jika manusia mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, maka ia tentunya bisa memindahkan gunung (Matius 17:20), apalagi menyembuhkan orang pun seharusnya tidak mustahil.
Persoalannya adalah bagaimana tingkat percayanya seseorang pada Tuhan? Ini selanjutnya dijelaskan dalam Injil Matius 17:16-20, dimana dikatakan murid-murid Yesus tidak dapat bisa menyembuhkan orang yang terkena penyakit ayan. Lalu selanjutnya orang-orang datang untuk meminta Yesus yang menyembuhkannya. Sehingga Yesus menegur mereka dan mengatakan bahwa orang-orang itu adalah angkatan yang tidak percaya dan sesat.
Pertanyaannya, apakah penyebab murid-murid Yesus menjadi tidak mampu untuk menyembuhkan orang itu? Karena kadar kepercayaan mereka kurang (kurang percaya). Perhatikan apa yang Yesus katakan: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana,–maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu”. Jadi, masalahnya bukan tentang manusia tidak memiliki iman, tetapi karena manusia “kurang percaya” (kadar percayanya kurang, tidak seratus persen).
Dalam hal ini sebenarnya Yesus hanya mempersoalkan "tindakan". Murid-murid Yesus tentu punya iman kepada Yesus dalam hati mereka, tapi karena tindakan mereka “kurang percaya”, maka akibatnya mereka tidak bisa menyembuhkan orang .
Seperti jelas terkandung dalam kitab Yakobus 2:26, penting sekali seseorang percaya, yaitu tidak hanya beriman saja, tapi sampai bertindak. Manusia bisa saja masih memiliki iman yang sama terhadap Tuhan, tapi kadang “kadar percayanya” menjadi berkurang saat menghadapi suatu masalah.
Iman dalam diri manusia, adalah merupakan sesuatu yang dipunyai "noun", sedangkan percaya adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pada iman kepada Tuhan. Dalam hal ini Tuhan tidak peduli dengan kelemahan seseorang, yang penting adalah “percaya” sepenuhnya—dan percaya adalah suatu tindakan yang aktif. Untuk mendapatkan hidup kekal, maka manusia harus selalu memiliki iman, kepercayaan, atau kesetiaan (yaitu kata benda yang merupakan hal yang harus selalu dimiliki) dan selalu “percaya” atau “mengimani”, tetapi juga “setia” (yaitu kata kerja, yang merupakan suatu tindakan yang aktif terus menerus).
Maka dapat dipahami di sini bahwa kata “iman” tidak lebih tinggi daripada kata “percaya”. Keduanya akan sama-sama penting. Kedua kata ini sama-sama dapat digunakan sebagai syarat keselamatan. Iman dan percaya adalah modal kehidupan kekal (Sarapan Pagi Biblika, http://www.sarapanpagi.org/iman-dan-percaya-vt739.html#p1724/diakses pada tanggal 14 Februari 2016, pukul 14.15 Wita).
Hal lainnya yang cukup penting dalam pemahaman iman ini, adalah seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Karl Barth (2012: 98-100) yang menegaskan bahwa iman adalah “conditio sine qua non”, yaitu suatu syarat mutlak dari ilmu teologi. Artinya bahwa, iman adalah peristiwa, sejarah yang diperlukan. Walaupun seseorang memiliki bakat, sikap, dan kualitas yang baik, namun tanpa iman, maka ia tidak dapat menjadi seorang Kristen, dan juga tidak dapat menjadi seorang teolog.
Bahkan dalam peristiwa iman, sesungguhnya terjadi sesuatu yang bergerak. Jadi bilamana terjadi suatu peristiwa dalam diri seseorang, dan bilamana orang itu menghayatinya, maka orang itu akan percaya. Sehingga pada diri orang yang percaya tersebut, peristiwa menjadi percaya adalah merupakan pernyataan dan tindakan yang menerangi dari awal mula imannya.
Sehingga, hal inilah yang dinamakan “intellectus fidel” atau pemahaman iman, yaitu mengenal pokoknya yang sama dengan asalnya, dan menerima isinya.
Wassalam Hormat di bri
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar