Beberapa bulan ke depan, tepatnya tanggal 23 September 2020, akan di gelar PILKADA serentak pada 270 daerah di republik ini. Artinya bahwa...
Beberapa bulan ke depan, tepatnya tanggal 23 September 2020, akan di gelar PILKADA serentak pada 270 daerah di republik ini. Artinya bahwa KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota, akan menyelenggarakan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di 270 daerah, dengan rincian: 9 pemilihan Gubernur, 224 pemilihan Bupati, dan 37 pemilihan Walikota.
Namun sampai saat ini kita masih melihat rendahnya efikasi politik yang ditandai oleh sikap apatis dan masih kuatnya politik aliran yang justru semakin memuskilkan tumbuhnya kesadaran berdemokrasi di tingkat daerah.
Dan memang, justru yang terjadi selama ini adalah suatu kondisi dimana desentralisasi berjalan tanpa demokratisasi. Sehingga akhirnya kondisi seperti ini hanya menghasilkan otonomi pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat.
Konsekuensinya bahwa dinamika politik lokal terlihat tidak menjadi proses politik yang mendorong terciptanya iklim kondusif bagi demokratisasi. Alhasil demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik.
Kita bisa melihat berbagai kasus tentang pengerahan massa dalam proses Pilkada, perselisihan antara kepala daerah dan DPRD, serta masih kuatnya praktik politik uang dlm ekskusi pengambilan keputusan publik. Semuanya menunjukkan belum terjadinya pelembagaan demokrasi dalam perilaku politik elit dan massa di tingkat daerah.
Dan selama ini yang tampak kasat mata adalah kecenderungan terjadinya fenomena "frozen democracy", yakni demokrasi yang tidak terkonsolidasi, tapi hanya menjadi alat justifikasi (secara prosedural saja,tanpa substansi).
Maka akhirnya jangan heran jika kondisi inilah yang selanjutnya melahirkan krisis etika dan moral, bahkan pada akhirnya legitimasi justru semakin terlihat muskil tuk terselesaikan karena pemerintah yang terbentuk bukan pemerintah yang kuat pada level daerah.
Ancaman Rezim Penguasa
Biasanya dalam gelaran demokrasi di republik ini baik di pusat maupun daerah, pada praktiknya rezim penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya melalui 4 cara, yakni dengan cara: memaksa, “membeli”, memobilisasi, dan memanipulasi.
Memaksa biasanya dilakukan dengan menggunakan militer sebagai alat negara untuk menekan masyarakat agar tunduk dan patuh pada kehendak negara
Membeli dilakukan dengan membangun konglomerasi para pemilik modal yg dibantu oleh negara. Maka terciptalah kolaborasi cantik antara penguasa dan pengusaha.
Memobilisasi dilakukan dengan strategi korporatisme negara. Sedangkan memanipulasi dilakukan dengan menggunakan wacana.
Keempat strategi di atas bisa diterapkan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa Orde Baru misalnya, keempat strategi ini dilakukan oleh rezim penguasa saat itu untuk bisa menjustifikasi, mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.
Karenanya maka tidaklah mengherankan bila akhirnya negara menjadi pusat dari seluruh praktik kepemerintahan.
Dan ironisnya lagi, konsepsi ruang publik ternyata tidak netral tapi rentan dengan interpretasi penguasa dan negara. Akibatnya, keberadaan ruang publik kemudian tereduksi menjadi sekedar alat untuk menjustifikasi dan melanggengkan kekuasaan rezim penguasa.
Salam ...wassalam
Hormat di bri
Oleh. Abdy Busthan
Namun sampai saat ini kita masih melihat rendahnya efikasi politik yang ditandai oleh sikap apatis dan masih kuatnya politik aliran yang justru semakin memuskilkan tumbuhnya kesadaran berdemokrasi di tingkat daerah.
Dan memang, justru yang terjadi selama ini adalah suatu kondisi dimana desentralisasi berjalan tanpa demokratisasi. Sehingga akhirnya kondisi seperti ini hanya menghasilkan otonomi pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat.
Konsekuensinya bahwa dinamika politik lokal terlihat tidak menjadi proses politik yang mendorong terciptanya iklim kondusif bagi demokratisasi. Alhasil demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik.
Kita bisa melihat berbagai kasus tentang pengerahan massa dalam proses Pilkada, perselisihan antara kepala daerah dan DPRD, serta masih kuatnya praktik politik uang dlm ekskusi pengambilan keputusan publik. Semuanya menunjukkan belum terjadinya pelembagaan demokrasi dalam perilaku politik elit dan massa di tingkat daerah.
Dan selama ini yang tampak kasat mata adalah kecenderungan terjadinya fenomena "frozen democracy", yakni demokrasi yang tidak terkonsolidasi, tapi hanya menjadi alat justifikasi (secara prosedural saja,tanpa substansi).
Maka akhirnya jangan heran jika kondisi inilah yang selanjutnya melahirkan krisis etika dan moral, bahkan pada akhirnya legitimasi justru semakin terlihat muskil tuk terselesaikan karena pemerintah yang terbentuk bukan pemerintah yang kuat pada level daerah.
Ancaman Rezim Penguasa
Biasanya dalam gelaran demokrasi di republik ini baik di pusat maupun daerah, pada praktiknya rezim penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya melalui 4 cara, yakni dengan cara: memaksa, “membeli”, memobilisasi, dan memanipulasi.
Memaksa biasanya dilakukan dengan menggunakan militer sebagai alat negara untuk menekan masyarakat agar tunduk dan patuh pada kehendak negara
Membeli dilakukan dengan membangun konglomerasi para pemilik modal yg dibantu oleh negara. Maka terciptalah kolaborasi cantik antara penguasa dan pengusaha.
Memobilisasi dilakukan dengan strategi korporatisme negara. Sedangkan memanipulasi dilakukan dengan menggunakan wacana.
Keempat strategi di atas bisa diterapkan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa Orde Baru misalnya, keempat strategi ini dilakukan oleh rezim penguasa saat itu untuk bisa menjustifikasi, mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.
Karenanya maka tidaklah mengherankan bila akhirnya negara menjadi pusat dari seluruh praktik kepemerintahan.
Dan ironisnya lagi, konsepsi ruang publik ternyata tidak netral tapi rentan dengan interpretasi penguasa dan negara. Akibatnya, keberadaan ruang publik kemudian tereduksi menjadi sekedar alat untuk menjustifikasi dan melanggengkan kekuasaan rezim penguasa.
Salam ...wassalam
Hormat di bri
Oleh. Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar