Video

Video News

Iklan

Batasan Filsafat dan Teologi tentang Allah

SUARA NABIRE
Senin, 01 Maret 2021, Maret 01, 2021 WIB Last Updated 2022-02-28T05:08:45Z


Pengertian tentang Allah yang paling dalam adalah seperti apa yang dikatakan Thomas Aquino, bahwa “kita tidak tahu apa-apa tentang Dia”. Sementara Agustinus menegaskan, “Allah dimengerti lebih baik dengan tidak mengerti”. Allah itu “Yang tak-Terkatakan”; “Yang Tak-ternamai”; “Yang Tersembunyi”. Allah mengatasi semua nama dan konsep manusiawi.

Bagian filsafat yang berbicara tentang Allah adalah teologi kodrati atau teologi metafisik. Dalam pemahaman bahwa teologi atau pembicaraan tentang Allah akan selalu berporos pada akal dan pemikiran kodrati manusia, dan tanpa bantuan wahyu.

Teologi kodrati ini disebutkan juga “theologai naturalis” yang dalam tradisi Kristiani pertama kali digunakan oleh Agustinus dalam tulisannya yang berjudul “De civitate Dei”. Dalam tulisannya ini Agustinus membedakan tiga macam teologi, yaitu:

  • Theologia Fabulosa, yang berbicara tentang mitos-mitos dan sekaligus merupakan wilayah pernyataan para penyair
  • Theologia Civilis atau Politica, yang merupakan wilayah pemikiran menyangkut agama-negara
  • Theologia Naturalis, yang disebut sebagai teologi kodrati, yaitu pengetahuan tentang Tuhan secara alami yang merupakan wilayah filsafat.
Namun perlu dipahami bahwa pada masa itu pembedaan ketiga hal tersebut di atas, tidaklah relevan—sebab bagi Agustinus sendiri—tidak ada pertentangan antara iman dalam teologi dan dunia filsafat,—yaitu antara yang dipercaya dan yang dimengerti atas dasar akal.

Memang sejak mula-mula batas antara filsafat dan teologi tidak begitu jelas. Dalam banyak kebudayaan, batas ini sama sekali tidak ada. Demikian halnya dengan dunia Kristiani. Baru sejak Thomas Aquinas (1225-1274) mulailah dibedakan antara teologi sebagai pikiran gerejawi atas dasar wahyu, dengan filsafat sebagai pikiran manusiawi atas dasar pengalaman inderawi dan akal. Dalam konteks perbedaan inilah kemudian muncul istilah “filsafat Ketuhanan” yang lazim digunakan oleh mereka yang tidak mau mengakui otoritas dan kesahihan teologi.

Selanjutnya di zaman modern, muncul filsuf Jerman, Christian Wolff (1699-1754), yang membagi pemikiran filsafat—saat itu disamakan dengan metafisika—menjadi dua bagian besar metafisika umum, yaitu: (1) Ontologi atau filsafat tentang “ada” yang umum; dan (2) Metafisika khusus atau filsafat tentang “ada khusus”, yang meliputi tiga bidang, yaitu: kosmologi, antropologi dan teologi metafisik. Di mana menurut Wolff, ketiga hal ini sejajar pula dengan tiga wilayah dalam pertanyaan besar tentang segala zaman yakni, dunia (kosmologi), manusia (antropologi) dan Allah (teologi metafisik).

Jadi bisa dipahami bahwa teologi metafisik adalah teologi kodrati yang merupakan wilayah filsafat yang mempersoalkan tentang “Allah” dan menjadi salah satu bagian metafisika khusus tersebut. Dan memang sejak kemunculannya, teologi metafisik selalu membicarakan bukti-bukti adanya Allah, sifat-sifat dan nama-nama ilahi, teodise atau dilema pembenaran Allah terhadap adanya kejahatan, ateisme dan panteisme. Namun semua tema yang di usung hanya berkisar antara dua pertanyaan utama, “Apakah Allah itu ada?” (pertanyaan mengenai eksistensi Allah), dan “Apakah dan bagaimanakah Allah itu ada?” (pertanyaan tentang esensi Allah).

Relasi Filsafat dan Teologi
Sering kita bertanya, apakah filsafat bertolak belakang dengan pembuktian akan keberadaan Tuhan? Atau, apakah ilmu filsafat itu bertolak belakang dengan teologi tentang Allah? Mengapa banyak kalangan mengklaim bahwa Tuhan dalam pembahasan filsafat selalu menemui jalan buntu? Tidak! Sebab sesungguhya filsafat dan teologi adalah dua sejoli yang saling melengkapi satu dengan lainnya.

Ya, filsafat memang tidak membuktikan Tuhan itu ada, melainkan ia membuktikan bahwa ada dasar yang kuat untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Sebagaimana dijelaskan oleh kalimat berikut, .. “The sculptor does not make the statue, he removes what hid it” (Pseudo-Dionysius; dalam Hamersma Harry, 2014:13).

Filsafat dalam hal ini memang tidak membuka ruang untuk iman, tetapi iman membuka ruang untuk filsafat memahami akan keberadaan Tuhan melalui 'keyakinan terdalam'. 


Jadi harus dipahami bahwa Tuhan bukan "diciptakan" oleh pikiran manusia, tetapi Dia "ditemukan" oleh pikiran manusia. Sebab Tuhan sudah selalu di sana—dalam kedalaman yang tersembunyi—tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya.

Oleh Abdy Busthan
Komentar

Tampilkan

Terkini