Ini tentang janji memelas elegi. Tentang rindu yang datang dan menyatu dalam arogansi sang waktu. Meski wara-wiri imaji tergadai makarnya al...
Ini tentang janji memelas elegi. Tentang rindu yang datang dan menyatu dalam arogansi sang waktu. Meski wara-wiri imaji tergadai makarnya alibi, tetaplah kisah sang pelangi bermula di sini... saat ini!
Balada ini menggores prosais. Sabdanya meringis, membakar langit-langit nurani. Ketika asmara membaur sepih, lingkaran hati hanyalah natur sebuah ilusi.
Progeni damai bergoyang lirih, seketika itu fakta sang lestari menggores naif. Hempasan hasrat terdengar semu, dalam sembilu kicauan sang angkara. Titah nalar, datang menjaring bengisnya sang harmoni. Dan dalam perwatakan semu, dahaga liar menyongong parodi.
Inilah refleksi yang terurai keluh. Harapan terkikis harapan, hikayat birahi terpatri bersabda rapuh. Ini kerinduan menyingkap lara.
Sebab keniscayaan bukanlah warna yang menyatu dalam warna. Meski warna-warni berucap salam, tapi tidak dengan sendirinya realitas ini berwarna.
Lingkaran waktu merajam ilalang-ilalang sakral. Ada candu menafikan karma. Meski sesekali rindu menyulam animo, tetap saja sang durjana berpelipur resah.
Kepastian menangis, ketika irama nafas berlinang halimun. Desahan sang surga bersimponi duka, karna kalam nurani bermuram jelita. Diantara maskulin birahi menderai kata, gulana firdaus terkapar sepih. Akhirnya, mimpi-mimpi sang mutiara asik menerjang dermaga lamunan!
Selafal puisi datang merangkai dahaga. Seketika itu simponi membuai asah. Dalam telaga kepalsuan, lentik jemari mendekap jerami kepahitan.
Haruskah langit merintih pesona? Mungkinkah keraguan tak terkatakan? Tidak! Aku bukan hingarnya sang bingar! Aku ada diantara pesona menerjang bedebah!
Ya, aku memang harus bangkit di sini! Aku akan berdiri di atas kaki sendiri! Menantang makar-makar opini! Mengusik lamunan titah kepalsuan!
Wahai kau tuan-tuan nurani, kemanakah bilur kerahimanmu menelanjangi waktu? Dimanakah keindahan berbisik sendu? Melagukan syair, melakoni simponi tentang impian?
Mungkin lentera sabda mulai terjaga. Kepakan sembilu datang menghempas derita. Sawang langit pun meniti sahara. Meskipun di sana untaian maaf kian duka membalut gersangnya luka.
Semua harapan serentak pun terukir. Mendamaikan cinta di ujung hari tersudut pilu. Nuansanya merangkai dekapan dalam kesenduan kalbu. Meski langit-langit impian merah membarah, kelakar kenangan tetap saja terhampar naluri.
Dalam tepian cakrawala jiwa, delirium melangkah pasti. Euphoria pun datang mendekap kemilau. Damailah hatiku, tentramlah wahai kekasihku!
Bersinarlah mutiaraku! Gaduhkanlah pesonamu! Bersatulah dalam kirbat-kirbat nalarku!
Diam dalam diam hikayat membekas merona. Sang malam datang mengukir rindu. Sepadan pun secawan impian mendekap ketulusan.
Kisah tentang lautan asmara menepi di sini. Berlabuh dalam cindai harapan, terbujur demi serunai yang terus mewarnai sejuta samudra kenangan!
Dan dalam gempitanya sabda hasrat bergemuruh, aku dan segelas anggur merah kian berlalu... pergi menyusuri hempasan jejak dustamu yang kian membekas prahara
(dalam liarnya malam, di sudut jalur Sikumana, kota Kupang)
Oleh Abdy Busthan
Balada ini menggores prosais. Sabdanya meringis, membakar langit-langit nurani. Ketika asmara membaur sepih, lingkaran hati hanyalah natur sebuah ilusi.
Progeni damai bergoyang lirih, seketika itu fakta sang lestari menggores naif. Hempasan hasrat terdengar semu, dalam sembilu kicauan sang angkara. Titah nalar, datang menjaring bengisnya sang harmoni. Dan dalam perwatakan semu, dahaga liar menyongong parodi.
Inilah refleksi yang terurai keluh. Harapan terkikis harapan, hikayat birahi terpatri bersabda rapuh. Ini kerinduan menyingkap lara.
Sebab keniscayaan bukanlah warna yang menyatu dalam warna. Meski warna-warni berucap salam, tapi tidak dengan sendirinya realitas ini berwarna.
Lingkaran waktu merajam ilalang-ilalang sakral. Ada candu menafikan karma. Meski sesekali rindu menyulam animo, tetap saja sang durjana berpelipur resah.
Kepastian menangis, ketika irama nafas berlinang halimun. Desahan sang surga bersimponi duka, karna kalam nurani bermuram jelita. Diantara maskulin birahi menderai kata, gulana firdaus terkapar sepih. Akhirnya, mimpi-mimpi sang mutiara asik menerjang dermaga lamunan!
Selafal puisi datang merangkai dahaga. Seketika itu simponi membuai asah. Dalam telaga kepalsuan, lentik jemari mendekap jerami kepahitan.
Haruskah langit merintih pesona? Mungkinkah keraguan tak terkatakan? Tidak! Aku bukan hingarnya sang bingar! Aku ada diantara pesona menerjang bedebah!
Ya, aku memang harus bangkit di sini! Aku akan berdiri di atas kaki sendiri! Menantang makar-makar opini! Mengusik lamunan titah kepalsuan!
Wahai kau tuan-tuan nurani, kemanakah bilur kerahimanmu menelanjangi waktu? Dimanakah keindahan berbisik sendu? Melagukan syair, melakoni simponi tentang impian?
Mungkin lentera sabda mulai terjaga. Kepakan sembilu datang menghempas derita. Sawang langit pun meniti sahara. Meskipun di sana untaian maaf kian duka membalut gersangnya luka.
Semua harapan serentak pun terukir. Mendamaikan cinta di ujung hari tersudut pilu. Nuansanya merangkai dekapan dalam kesenduan kalbu. Meski langit-langit impian merah membarah, kelakar kenangan tetap saja terhampar naluri.
Dalam tepian cakrawala jiwa, delirium melangkah pasti. Euphoria pun datang mendekap kemilau. Damailah hatiku, tentramlah wahai kekasihku!
Bersinarlah mutiaraku! Gaduhkanlah pesonamu! Bersatulah dalam kirbat-kirbat nalarku!
Diam dalam diam hikayat membekas merona. Sang malam datang mengukir rindu. Sepadan pun secawan impian mendekap ketulusan.
Kisah tentang lautan asmara menepi di sini. Berlabuh dalam cindai harapan, terbujur demi serunai yang terus mewarnai sejuta samudra kenangan!
Dan dalam gempitanya sabda hasrat bergemuruh, aku dan segelas anggur merah kian berlalu... pergi menyusuri hempasan jejak dustamu yang kian membekas prahara
(dalam liarnya malam, di sudut jalur Sikumana, kota Kupang)
Oleh Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar