Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

# Pendidikan

FALSE
FALSE
latest

Filsafat Laru: Berpikir Terbalik

Dunia ini penuh dengan kejahatan. Dimana-mana ada kejahatan. Setiap kejahatan tidak jatuh dengan sendirinya dari atas langit. Ada kejahatan ...



Dunia ini penuh dengan kejahatan. Dimana-mana ada kejahatan. Setiap kejahatan tidak jatuh dengan sendirinya dari atas langit. Ada kejahatan skala kecil, ada pula kejahatan dengan skala yang besar.

Kejahatan bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap manusia. Di dalam dunia yang penuh kejahatan ini, seharusnya tugas kita adalah menghadirkan kebaikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Padahal setiap insan manusia di alam realitas ini, siapapun dia, ia dilahirkan dengan sebuah harapan dari orang-orang terdekatnya agar kelak hidupnya membawa kebaikan (menjadi orang baik), entah itu terhadap keluarga, ataupun terhadap orang lain. Ini artinya bahwa, sejak kecil, setiap manusia selalu diajarkan untuk selalu berbuat baik.

Namun harapan itu seakan menjadi sia-sia. Ketika seorang mulai beranjak dewasa, kebaikan itu tidak lagi menjadi harapan, tetapi menjelma menjadi semacam halitosis, ibarat sesuatu yang menyebarkan aroma busuk hingga merusak siapa saja yang berada disekitarnya.

Dan akhirnya lingkungan juga tercemar. Inilah manusia dalam akar kejahatannya yang terus bertumbuh seakan tak pernah layu.

Keadaan ini semakin diperparah lagi, ketika kejahatan-kejahatan manusia justru berasosiasi dengan kebaikan-kebaikan orang lain dan juga dirinya sendiri. Dalam konteks ini, banyak perbuatan baik yang dilacurkan demi membuat suatu kejahatan tak tampak oleh mata lahiriah (kasat mata). Sehingga menimbulkan akar-akar kejahatan baru, yang semakin membuat kehancuran dimana-mana.

Banyak orang akhirnya terkecoh, dan hidup dalam ketergantungan kebaikan orang lain. Padahal secara mata hati, ini sebuah kejahatan terstruktur. Akhirnya, bagi mereka yang lemah, mereka tak sanggup untuk berdiri di atas kaki sendiri, tetapi menempel pada kaki orang lain. Ketika ini terjadi, maka benarlah kalimat yang menyatakan bahwa, “jalan ke neraka, kerap kali dilapisi dengan kehendak baik”.

Banyak sekali kejahatan terstruktur di muka bumi ini yang di bungkus oleh perbuatan baik yang justru membawa kehancuran bagi orang banyak.

Atas nama kebenaran dan kebaikan, orang justru melanggengkan cara-cara keji untuk saling menjatuhkan, melukai dan menyisihkan. Itu sebabnya bentuk perbuatan jahat seperti ini berpotensi menciptakan hubungan-hubungan antar manusia yang tidak adil. Sebut saja Sadam Husein, yang melakukan ekspansi politiknya dengan menggunakan topeng-topeng kebaikan. Hitler awal abad 20, juga pernah memusnahkah bangsa Yahudi, atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman.

Bahkan para ahli-ahli taurat zaman Yesus, yang menggunakan agama untuk melegalitas eksekusi penyaliban Yesus. Bahkan teror-teror bom yang sampai saat ini masih bergentayangan di republik ini, justru menggunakan doktrin-doktrin kebaikan dari agama tertentu untuk melaksanakan hadis secara berjemaah, yaitu dengan mengancam dan membumihanguskan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pertanyaannya, mengapa kehendak baik justru berbahaya? Untuk menjawabnya, mungkin sebaiknya kita menggunakan filsafat berpikir terbalik, seperti kita sedang mabuk minuman keras. Filsafat ini mirip dengan mabuk minuman khas dari daratan pulau timur, yang disebut dengan “Laru”.

Minuman ini, bisa membawa kesehatan, tetapi juga membawa penyakit. Bagimana bisa begitu? Berdasarkan kadarnya, laru terdiri dari dua jenis. Ada kadar baik dan ada pula kadar yang jahat. Dikatakan kadar baik ketika laru itu diminum beberapa menit setelah ia diturunkan dari pohonnya. Dan kadar ini bisa bertahan dalam waktu kurang lebih dua jam. Namun setelah lewat dari dua jam, maka kadar laru tersebut termasuk dalam kadar yang jahat.

Jadi, hanya dengan menggunakan filsafat laru, maka kita akan berpikir secara terbalik. Dan ketika kita berpikir terbalik, maka kita akan memulainya dengan kebalikan dari sesuatu yang kita pikirkan.

Misalnya, ketika kita berpikir tentang konsep ukuran ‘pendek’, maka kita harus memulainya dengan mempertanyakan mengapa ada ‘tinggi’? Ketika kita berpikir tentang konsep putih, maka kita memulainya dengan mempertanyakan mengapa ada hitam?

Begitupun ketika kita berpikir tentang konsep kebaikan, maka kita memulainya dengan mempertanyakan mengapa kejahatan itu ada? Begitupun sebaliknya.

Mari kita memulainya dengan pemahaman tentang kebaikan. Setiap perbuatan baik, atau disebut juga kebaikan, ia tidak dikotori oleh unsur lainnya. Artinya, kebaikan berdiri sebagai sesuatu yang apa adanya.

Perbuatan baik akan menjadi sesuatu yang jahat, ketika itu dilakukan dengan sebuah alasan. Artinya, memiliki alasan saja, perbuatan itu sudah tidak dapat kita katakan baik. Apalagi jika alasannya didasarkan dengan teori balasan-membalas untuk mendapatkan sesuatu hal (baca: pamrih).

Ya, tidak ada hukum balas-membalas di dalam kebaikan. Karena itu, kehendak baik dapat menuju pada jalan ke neraka, ketika ia membawa muatan kepentingan-kepentingan apapun yang berdalil balas budi. Apalagi kepentingan yang kotor.

Untuk itu, dibutuhkanlah hati yang bersih dan pikiran yang jernih, demi sebuah kebaikan. Sebab jika pikiran kita masih saja di huni oleh kepentingan diri sendiri untuk menyusahkan sesama kita, maka sesungguhnya kita sedang melakukan kejahatan yang sangat sempurna.

Apalagi jika perasaan dan pikiran kita mulai dilumuri oleh perhitungan untung dan rugi, seperti mati satu tumbuh dua, tiga, empat dan seterusnya, maka sebaiknya jangan berbuat baik! Sebab sesungguhnya perbuatan baik itu sesuatu yang murni dan apa adanya.

Hal yang terakhir, bahwasanya perbuatan baik bersumber dari diri kita sendiri. Begitupun perbuatan jahat. Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain.

Artinya, kita perlu “menghilangkan” segala bentuk dan jenis balas budi atau pamrih dan segala perhitungan untung rugi di dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika kita “belum menghilangkan” semuanya itu dalam diri kita sendiri, maka sebaiknya jangan membantu orang lain. Sebab, jika seorang buta menuntun sesamanya yang juga buta, maka secara berjema’ah (baca: bersama-sama), keduanya akan masuk ke dalam jurang yang sama.

Salam, Wassalam...Hormat di bri
Oleh: Abdy Busthan

Tidak ada komentar