Oleh: Pdt.Dr. A.A. Yewangoe Dalam diskusi sore tadi (19 November 2019) di acara Pembinaan para penceramah Pancasila dari seluruh Indonesia, ...
Dalam diskusi sore tadi (19 November 2019) di acara Pembinaan para penceramah Pancasila dari seluruh Indonesia, ada peserta bertanya: "Manakah yang lebih tepat untuk dikatakan, saya orang Indonesia Kristen atau orang Kristen Indonesia?"
Tentu pertanyaan di atas berlaku juga bagi orang Islam, Hindu, Buddha, dan yang lainnya.
Secara sepintas kedua ungkapan itu kedengarannya sama saja. Namun kalau diteliti lebih jauh ternyata ada perbedaan yang cukup mendalam. Kalau saya mengatakan, saya adalah orang Indonesia Kristen, maka pertama-tama saya mengacu kepada hakekat dan rasa kebangsaan saya.
Saya adalah orang Indonesia yang satu sejarah dengan bangsa ini, yang senasib dengan bangsa ini, yang secara integral adalah bahagian dari bangsa ini. Sebagai demikian, saya tidak dapat dipisahkan dengan bangsa ini. Tetapi saya yang bahagian integral dengan bangsa ini secara bebas memilih kekristenan sebagai agama saya.
Pilihan bebas itu sama sekali tidak mengubah hakekat saya sebagai orang Indonesia. Artinya kebangsaan saya tidak berubah tetapi disoroti secara kritis oleh iman saya sebagai seorang Kristen. Saya kira hal serupa berlaku juga bagi seorang muslim, Hindu, Budha, dan yang lainnya.
Lain halnya kalau saya mengatakan saya orang Kristen Indonesia. Saya mendahulukan kekristenan saya di atas kebangsaan saya. Namun kekristenan saya tidak mempunyai tanah (soil) untuk berpijak. Pada saat yang sama saya tidak tahu asal-usul saya. Sebagai demikian, saya bisa saja merasa sebagai yang ditempelkan begitu saja dengan kebzngsaan Indonesia. Saya bisa merasa tidak satu sejarah dan tidak satu nasib dengan bangsa ini. Bahkan bukan tidak ungkin saya dianggap sebagai penumpang gelap di dalam kapal kebangsaan yang bernama Indonesia.
Demikian kurang-lebih jawaban saya terhadap pertanyaan peserta tersebut. Ketika pertanyaan itu diajukan, dengan tiba-tiba muncul dalam benak saya diskusi serupa di Sidang Raya ke-17 PGI di Waingapu minggu lalu. Manakah yang lebih tepat untuk mengatakan: "gereja Indonesia" atau "gereja di Indonesia"; "Persekutuan gereja-gereja Indonesia" atau " Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia"? Tentu saja ada yang setuju dan/atau tidak setuju dengan penghilangan kata "di". Kita hormati semua pendapat itu. Saya sendiri berpendapat dengan mereka yang menghilangkan kata "di". Sebagai demikian, kita sebagai orang Indonesia Kristen hendak menegaskan bahwa kita adalah bahagian tidak terpisahkan dengan sejarah, dengan nasib bangsa ini.
Cita-cita dan tujuannya adalah pula cita-cita dan tujuan kita sebagai orang Indonesia Kristen. Ketika proklamasi kemerdekaan diucapkan pada 17 Agustus 1945 kita ada di sana bukan sebagai penonton tetapi sebagai penganbil bahagian aktip. Maka kita yakin yang memerdekakan bangsa ini adalah Allah Sang Pembebas.
Saya kira kita punya alasan dan argumentasi kuat untuk, setelah hampir tujuh dasawarsa berbangsa dan berekumene mengambil langkah mendasar guna memandang diri kita sebagai "Gereja Indonesia", sebagai "Persekutuan Gereja-gereja Indonesia". Kita tidak sekadar menempel di sini. Kita bukan penumpang gelap dalam kapal Indonesia. Tetapi tentu saja kita tetap merupakan "Gereja Yang Mengaku" ( die bekennende Kirche). Sebagai demikian kita tidak boleh membiarkan diri dikooptasi oleh rasa kebangsaan kita yang arogan (chauvinisme) sehingga pada satu saat tidak ada lagi batas antara kebangsaan (sempit) dan iman kepada Yesus Kristus.
Tidak ada komentar
Posting Komentar